Minggu, 10 Juli 2011

Bukan Hanya Satu Cinta

Bukan Hanya Satu Cinta


Tetes demi tetes air mata kini mulai membasahi pipi Amel bak embun yang merayapi tulang-tulang daun di pagi hari. Hancur sudah hati Amel kini. Melihat pacarnya menduakan dirinya sudah cukup menyakitkan baginya, apalagi ternyata sahabatnya sendiri yang menjadi selingkuhan pacarnya.
“Wa’alaikumsalam…” kata bunda kaget begitu mendengar suara pintu terbuka tiba-tiba.
“Makan dulu sayang..”
Perkataan bunda tak kuhiraukan lagi. Aku hanya terus berlalu menuju kamarku. Mengenyakkan tubuhku, dan menangis sepuasnya. Hancur sudah . . . hancur berkeping-keping hatiku.
                                           xXxXxXxXxXx
Berat kurasakan ketika melangkahkan kakiku menuju kelas. Aku bingung harus bersikap seperti apa pada Anggre setelah kejadian kemarin.
“Hei Mel . . .” sapa Riri, sahabatku yang satu lagi secara tiba-tiba.
“H..Hei . . .”
“Pelan banget jalanna. Nyolo nih??”
“Hee??”
Riri hanya tersenyum mendengar ucapan bingungku itu. Kami mengambil tempat duduk yang sebangku. Memang, aku menghindar dari Anggre.
“Tuh dia! Akhirnya bunga Anggrek dateng juga!” seru Riri melihat Anggre datang.
Jantungku berdebar keras. “Dag . . Dig . . Dug . .” Aku bingung apakah harus marah atau tidak padanya. Jika aku marah, aku merasa tak enak hati karena dia sudah menjadi sahabatku bukan dalam waktu yang sebentar.
“Seperti biasa, dua menit sebelum bel . . .” kata Kasih pada Anggre yang mengambil tempat di belakangnya. Itu berarti aku dan Anggre hanya berjarak kurang dari semester saja.
“He.. he . . iya nih kak. . .”
Anggre selalu memanggil Riri dengan ‘kak’ yang kurasa agak aneh, karena umur mereka sama. Mereka bilang, itu karena mereka sudah seperti saudara karena sudah berteman sejak kecil.
Akhirnya aku tak memilih untuk marah pada Anggre. Bukan berarti aku memaafkannya. Aku hanya memilih diam.
                                         xXxXxXxXxXx
Semilir angin lemah dari sudut jendela kelas menerpa wajahku, sejuk. Kontras dengan hatiku yang kini sedang patah dan hancur, tetapi aku hanya diam. Tak kupedulikan lagi pelajaran yang sedang diberikan sejak tadi pagi. Aku bahkan tak tahu ini jam ke berapa. Pikiranku kini hanya melayang-layang tak jelas di antara kejadian malam itu dan kenangan-keangan bersama Reno. Reno, cowok itu telah menyita hidupku selama beberapa bulan ini. Ya . . . baru beberapa bulan aku dan dia menjalin hubungan.
Sakit kini mendera lagi dadaku, bak tertusuk-tusuk dan tertikam oleh seribu pisau. Terasa di balik kelopak mataku air mata berusaha keluar, tapi tak bisa kubiarkan itu keluar menembus pertahananku. Tidak untuk saat ini.
“Oi Amel!!!” panggil Riri dengan suara yang cukup keras.
“Hah?? Apa?” kataku kebingungan, dan sekejap menghilangkan lamunan-lamunanku tadi. Heran juga aku, melihat kelas ini gaduh seperti pasar pagi. Tak biasanya.
“Guruna ke mana yah?” kataku spontan.
“Ya Allah Mel. . .  Kamu tuh ngelamunin apa aja sih??” komentar Riri seraya menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Tadi tuh Bu Irma nyerahin tugas ke kita. Beliau ada kepentingan.”
“Owh . . gitu . .” kataku ber- oo ria.
Pantas saja kelas ini ramai, heran juga aku tidak menadarinya.
“Nah . . ayo kita ngerjain tuh tugas BK!! Ganbatte!!” kata Riri penuh semangat.
“Key. . .” sahutku lemah.
Riri menghadapkan diri ke belakang, ke meja Anggre tepatnya. Sadarlah aku bahwa ini tugas kelompok seperti biasanya.
“Oi bunga Anggrek! Sibuk ndiri aja kau. Mana . . . biar Riri sita!”
Riri berkata demikian dan dengan cekatan merampas kertas yang ditekuni Anggre. Anggre tentu saja tidak terima, dan terjadilah aksi rebut-rebutan seperti anak-anak kecil.
“Kak . . balikin . .”
“Gak mau . . wekkk”
“Kak . . balikin dong . .” rengek Anggre.
Melihat adegan ini mau tak mau aku tertawa. ‘Lucunya . .’ pikirku dalam hati. Bagaimana gak lucu, mereka benar-benar mirip kakak-adik yang saling berebutan seperti anak SD saja. Luluh juga kemarahanku pada Anggre, meski luka hati ini tetaplah ada.
“Nah, gitu dong Mel. Jangan pasang tampang kayak dunia mo kiamat mulu!” puji Riri menghentikan perang kecil itu.
“Apalagi kayak cewek yang gak punya ekspresi ini.” Kata Riri pada Anggre yang ternyata telah berhasil mengambil kertasnya tadi dan mulai sibuk sendiri tak bereaksi apapun.
“Ihh . . kamu beneran gak puna ekspresi ya???” Riri sebal dan akhirnya mencubit pipi Anggre gemas. Wah, pasti sakit. .
Seperti biasa, Anggre tak mempedulikan Riri dan hanya diam saja, melanjutkan kembali menekuni kertasnya yang ternyata sebuah desain stiker. Itulah Anggre, dia selalu seperti itu sejak pertama kali aku mengenalnya.
Tak ayal aku jadi meragukan apa yang kulihat kemarin. Aku tahu, Anggre takkan tega melukai sahabatnya. Bahkan dulu dia rela membatalkan rencananya untuk berlibur dengan saudara sepupunya. Padahal dia sangat menantikannya. Itu semua tak lain hanya untuk menemaniku yang takut di rumah sendirian selama seminggu dalam liburan dulu.
“Anggre sahabat yang baik.” Itulah suara yang menggema, mengisi tiap lipatan-lipatan otakku.
                                             xXxXxXxXxXx
“Assalamualaikum…” kata Toni alias Antonio, anak kelas XII yang pinter, ganteng, supel, ramah lagi. Maklum Toni itu salah satu anggota rohis, wakilnya lagi. Jangan salah, meski namanya kayak gitu, keimanannya sudah tak diragukan lagi.
“Wa’alaikumsalam..” jawabku, Riri, dan Anggre bersamaan setelah menelan apa yang barusaja masuk ke mulut kami.
Di sinilah kami, duduk berhadapan di kantin. Tentu saja aku duduk di samping Riri, sementara Anggre duduk di hadapan kami.
“Maaf ganggu… “ katanya sambil memandang sekilas kami bertiga, kemudian berhenti pada Anggre.
“Rei, gimana desainnya?” berkata seperti ini Toni mengambil tempat duduk di samping Anggre.
“REIII????” ucapku dan Riri bingung sambil saling berpandangan.
“Sejak kapan kamu jadi “REI” dek?” tana Riri cepat. Memberi penekanan pada “REI”.
Anggre bukannya menjawab tapi malah asik melahap nasgor lagi. Baru kelaparan juga dia.
Sunyi sejenak, “Krikk krikk…” akhirnya Toni angkat bicara.
“Rei itu panggilan dari sensei di ekskul Jepang karena Anggre nama yang sulit dilafalkan.”  Terang Toni yang menatap Anggre.
“Owh..” kataku dan Riri kompak.
“Eh, ekskul Jepang?? Kok perasaan aku gak pernah denger kamu dipanggil gitu dek?? Kan aku juga penah ikut tuh ekskul??” Riri tiba-tiba saja tersadar.
“Hmm??” Anggre hanya menatap Riri, kemudian sunyi lagi.
“Kan kakak cuma datang 2 kali pertemuan pertama.” Kata Anggre akhirnya, sambil lalu.
“Terus??”
“Sensei ada keperluan selama 2 hari itu..” Anggre menjawabnya lagi-lagi dengan sambil lalu, tetap melahap nasgornya.
“Ohh gitu ya…” Riri ber-o ria, tak peduli pada sifat Anggre yang memang sudah akut itu.
“Wah.. Riri juga pernah ikut ekskul Jepang??” Sekarang giliran Toni yang bertanya cukup antusias.
“I-iya kak.. tapi cuma 2 kali pertemuan..” Jawab Riri malu-malu.
“Ehh? Kenapa berhenti?? Ekskulnya asik kok.. ya kan Rei?” Toni kini beralih profesi menjadi pembujuk rupanya.
“hnn..” Anggre lagi-lagi hanya menjawab seadanya.
“uhm.. ia deh kak.. nanti Riri pikirin dulu.”
“Nah gitu dong..” Toni memasang senyum ramah andalannya yang berefek memerahkan wajah Riri menjadi seperti kepiting rebus.
“Gimana nih desainnya Rei?” kini Toni beralih ketujuannya semula.
Anggre mendongak sekilas pada Toni dengan mulut penuh dan kemudian menelan isi mulutnya untuk menjawab.
“Ehm..” Anggre berkata sambil membuka-buka buku sketsa yang penuh berisi kertas-kertas desain yang selalu dibawana ke mana-mana.
“Ini” Anggre menodorkan salah satu kertas yang kukenali sebagai kertas yang menjadi bahan perebutan dengan Riri dulu pada Toni.
“Wah… bagus!!” puji Toni.
“Biasa aja kok kak..”
Selama beberapa menit selanjutnya aku hanya sibuk sendiri dengan makananku. Selama ini kak Toni dan Anggre memang akrab, atau jangan-jangan mereka sudah jadian!.. Lalu kenapa malam itu Anggre dengan Reno??? Tak tahulah diriku. Tapi ketika aku iseng memandang Riri, aku terkejut. Bukan karena Riri kini telah menjelma menjadi makhluk konyol yang seperti adegan film di-pause. Tapi ini karena tatapan Riri, ya… tatapannya tak pernah lepas dari Toni.. sedetikpun..
Baru kali ini kusadari sekelilingku…
Penuh perstiwa yang tanpa sadar kulewati begitu saja…
Indah, penuh sejuta campuran warna rasa ….
Mengapa bisa ku lupa warna-warna itu?
                                     xXxXxXxXxXx
Tempat tidurku kini menahan sepenuhnya berat tubuhku, bantal kini menjadi dingin oleh air mata. Aku menangis lagi, tak tahan merasakan sakit hati ini. Ku pandangi laar ponselku. Sembilan belas misscall dan 8 messages menantiku tuk membacanya. Semua itu dari orang yang sama.. Reno…
Aku masih sayang dia, jauh di dalam ruang hati ini. Itu semua yang membuatku hanya mendiamkannya, bukannya mengakhiri dengan kata “putus”.
                                     xXxXxXxXxXx
 “Mel, kamu masih belum putus sama Reno?” kata Anggre tiba-tiba seraya menyudutkanku ke dinding.
“Hah?”
“Akh… “ Anggre menepuk keningnya, heran juga melihatnya.
“Mel, aku tanya. Kamu masih pacaran sama Reno?”
Mendengar ini hatiku terasa lagi sakitnya, tertusuk seribu pisau lagi. Bunyi ‘Jleb.. Jleb..’ terasa begitu nyata di telingaku ketika suara Anggre terdiam.
“Be..belum..” jawabku terbata.
Sejenak ku takut jika Anggre marah, selama ini aku tidak pernah melihatnya menampakkan emosi dengan sangat jelas begini. Tapi.. bukan wajah marah yang ku lihat, bukan. Ketika aku meneguhkan hati menatap mata Anggre yang sewarna kulit kayu, aku terkejut. Anggre.. matanya menyiratkan semuanya, sendu, galau, kasihan, jengkel, dan sayang. Sayang.. ya, sayang. Ekspresi rasa itu terlihat begitu jelas mendominasi matanya. Anggre tak mengalihkan pandangan dariku, tetapi dia balik menatapku, tepat di mataku! Seakan dia melihat jauh ke dalam hatiku.
“Mel, kenapa kamu belum ngerti juga??” kata Anggre dengan nada lemah, penuh sayang dan sekilas ku lihat kilau di sudut matanya.
“Apa maksudmu Ang? Aku gak ngerti.” Kataku polos.
Sejenak Anggre terdiam, tetap menatap tajam mataku. Dia menghela nafas panjang dan..
“Kamu ikut aku! Jangan tanya-tanya!!” kata Anggre cepat seperti dikejar maling.
Otomatis aku jawab ‘iya’ karena masih shock.
                                    xXxXxXxXxXx
“Ang, kita mau ke mana?”
Anggre tetap diam seribu bahasa. ‘Jangan tanya-tanya!’ kata-kata Anggre itu terngiang dalam kepalaku secara otomatis. Jadilah kami hanya diam sepanjang perjalanan. Dan di tempat ini rupanya tujuan Anggre, sebuah cafe.
“Mel, sebelum kamu masuk ku saranin tata dulu emosi kamu. Dan apapun yang kamu liat nanti, jangan gegabah.”
Aku bingung, tak tahu apa arti ucapan Anggre barusan. Aku hanya mengangguk dan mengikutinya masuk ke kafe itu. Kami duduk di bangku kosong yang pertama kami temui, di pojok cafe. Tempat yang strategis untuk melihat seluruh isi cafe.
“Pesan apa mbak?” kata seorang waitress.
“Vanilla Latte satu, trus..”
“Kamu apa Mel?”
“A-aku jus melon aja deh..” jawabku kaget.
“Vanilla Latte dan jus melon masing-masing satu.” Kata si waitress mengulang pesanan.
“Yap.” jawab kami serempak.
Setelah si pelayan pergi, kami diam. Anggre sepertinya sibuk mencari orang yang dari pertama masuk sudah dia cari. Maklum, pengunjung cafe saat ini sedang banyak.
“Mel, aku minta kamu ke sini buat nunjukin itu!!” kata Anggre menunjuk ke meja yang sangat jauh dari meja mereka. Dan di sana ada orang itu!! Ya, Reno. Aku bisa langsung mengenalinya. Dan dia, dia.. bersama seorang cewe!!
“Mel…!” kata Anggre.
“I-iya?” jawabku tersadar dari emosi yang sempat membutakanku itu.
“Jangan nangis Mel, air matamu gak pantes buat cowok brengsek macam dia!”
Ternyata benar apa kata Anggre, aku menangis. Segera saja kuhapus air mata itu sesuai saran Anggre.
“Ini pesanannya..”
Dua minuman datang, kami menikmati minuman itu tanpa kata dan aku masih terus saja memandang ke meja Reno. Sekarang mereka berdua sedang… sedang.. kissing!! Shit!!!
Sudah tak bisa lagi ku tahan amarah ini. Aku bangkit sambil membawa jusku menuju meja Reno.
“Mel.. jangan!” Anggre menahan tanganku.
“Aku udah gak kuat lagi Ang. Mau gue putusin sekarang juga tuh cowok dodol!”
“Kamu yakin?”
“Seribu persen!!” jawabku sambil tersenyum.
Akhirnya Anggre melepasku dengan senyum juga, mengisyaratkan dukungan penuh untukku. Aku berjalan dengan mantap ke meja Reno.
“Hai Reno!” sapaku dengan senyum.
Reno menoleh dan dia sangat terkejut, wajahnya seperti ekspresi ayam mau disembelih.
“A.. Amel..” kata Reno terbata.
“Selamat ya, udah berhasil selingkuh!” kataku sambil mengguyurnya dengan jus melonku.
Semua terkejut, bahkan perhatian penghuni cafe kini beralih ke kami.
“Dan selamat juga, karena sekarang kita PUTUS!” kataku keras.
Aku mangmbil selangkah meninggalkan meja Reno dan berbalik lagi..
“Oh iya… Hampir lupa! Ini hadiahnya!”
“Plakkk…” suara keras tamparan muncul.
Reno hanya diam, mengelus pipinya yang kutampar. Masih shock mungkin.
Aku tak membuang waktu lagi. Aku segera pergi dari tempat itu. Samar-samar kudengar si selingkuhan yang ternyata juga dibohongi meminta putus dan menamparnya juga. Senyumku terkembang, kini aku merasa semua beban sudah hilang dari tubuhku, entah ke mana. Kuhampiri Anggre yang sudah siap keluar, dia memasang senyum puas dan bangga. Kami keluar dan betos, tertawa lepas menghilangkan semua perasaan yang mengganggu.
Cinta itu indah, aku merasakannya
Cinta itu juga menedihkan, aku juga pernah merasakannya
Cinta itu satu, mungkin benar
Tapi yang pasti cinta untukku bukan hanya satu
Masih ada cintay ang lain menanti
Sampai akhirnya ku temukan cinta sejatiku
                                               xXxXtHe ENdXxXx


Ini adalah sebuah kisah yang ada gara-gara tugas bahasa Indonesia. Dikeranakan kretifitas author yang sangat minim. Persamaan, nama, tokoh, cerita, dan alur harap dimaklumi. XD
                                                        ~OwaRI~

Tidak ada komentar: