Rabu, 21 Maret 2012

Seiris Bola Basket [12.02.26]

Title       : Seiris Bola Basket
Sebuah cerpen yang tadi baru aja dibikin, dengan waktu kurang lebih 4 jam *lama*. Masih belum di edit, harap maklum banyak miss-typo. =.=)v
Chara    : Erin, Sarah, Revan
Warning: Typo(s), gaje + amburadul, banyak ambigu/kurang efektif.
Happy reading ^^

Seiris Bola Basket

Sesuatu yang disukai. Apa kau punya itu? Aku memilikinya. Bola basket, hadiah satu-satunya dan mungkin yang terakhir dari tetanggaku, teman sepermainanku untuk waktu yang cukup lama. Sarah namanya, gadis itu cantik dengan rambut indah dan lurus sepinggang. Dulu, sebelum dia ikut pindah bersama kepindahan kerja ayahnya, kami sering bermain basket bersama. Meski harus kuakui, Sarah payah bermain basket. Kadang aku tertawa hingga sakit perut melihat Sarah digiring bola, bukan dia yang menggiring bola seperti seharusnya. Meskipun begitu, dia tak pernah menyerah.
“Suatu saat nanti pasti bakal kukalahin kamu.” Sarah menunjukkan wajah seriusnya. Wajahnya basah oleh keringat, rambutnya tampak beberapa yang dengan bandelnya keluar dari kuncir ikat kudanya.
Aku menghentikan tawaku demi melihat mimic seriusnya itu. Kemudian berdiri dari dudukku, menghampirinya di dekat ring.
“Oke, siapa takut.” Tantangku setengah bergurau pada Sarah. Ku rebut bola di tangannya dengan cepat dan ku lakukan lay up ke ring di belakangnya.
“Plung..” Bola yang ku lemparkan masuk.
“Erin curang!!” Sarah berteriak sambil menunjukku, merasa kesal karena seharusnya masih gilirannya memegang bola.
Ku ambil bola dan ku pass ke Sarah. Entah apakah aku atau Sarah yang tidak fokus, bola itu bukannya berada dalam tangkapan Sarah tetapi mengenai mukanya. Menyisakan semburat merah di hidungnya, persis seperti rusa hidung merah. Kami berdua pun tertawa setelahnya.
Bagiku, itu adalah satu dari serangkaian sore-sore konyol kami di lapangan basket. Masih ada banyak sebelumnya dan waktu itu aku berfikir pasti masih ada lebih banyak lagi setelahnya.
Namun aku salah, kepindahan Sarah di akhir kelas dua dating sebagai hadiah ulang tahun tak terduga untukku. Bulan September, musim penghujan. Tepat dalam salah satu sorenya ku lihat mobil box di depan rumah Sarah, mobil yang besar. Aku tak memperdulikannya karena ku pikir mungkin mereka baru saja membeli perabot baru. Tapi aku salah.
Sekitar pukul 16.30, Sarah dan orangtuanya dating ke rumahku. Mereka berbicara cukup lama dengan orangtuaku. Ku dengar samar-samar percakapan mereka dari ruang keluarga. Tak jelas, sehingga aku malas mendengarnya dan memutuskan untuk berkonsentrasi pada TV saja. Menemani adikku yang sedang menonton Spongebob kesayangannya.
Entah itu pukul berapa, tiba-tiba Sarah dan orangtuanya masuk menemuiku. Sarah menatapku dengan sorot yang sulit ku ungkapkan. Dia memegang bola basket barunya, baru dibeli beberapa minggu yang lalu dan baru beberapa kali kami pakai bersama.
“Erin, Sarah, om, dan tante mau pamitan sama kamu. Kami akan pindah ke Bandung.” Ibu Sarah angkat  bicara, dengan senyumnya yang khas itu ia mengatakan kejutan itu dengan entengnya. Sementara aku bingung harus menjawab apa.
“Sana Sarah, serahkan ke Erin.” Kulihat Sarah tetap menunduk. Wajahnya tersembunyi di balik poni serta rambut panjangnya. Sarah mendekatiku perlahan, mengangkat wajahnya yang nampak muram dan berkata.
“Erin, selamat ulang tahun. Maaf kecepetan.” Dengan senyum yang ku lihat ganjil menghiasi wajahnya yang nampak sedih itu, dia menyodorkan tangannya. Ku lihat sebuah kantung plastic berisi sebuah kotak.
Aku bingung harus menjawab apa. Secara refleks aku berucap.
“Terima kasih.” Hanya itu kata yang keluar dari bibirku. Ku terima kantung yang ternyata berisi kado untukku. Kado itu berisi sebuah lampu hiasan berbentuk botol, dengan hiasan kerang-kerang kecil di sana-sini. Kado unik ulang tahun terakhir dari Sarah. Tak hanya itu, di hari terakhir itu Sarah juga menyerahkan bola basketnya padaku. Bola basket itu sudah ditandai, ada nama Sarah dan aku di satu sudut kecilnya.
~.~.~.~.~.~
Setelah kepindahan Sarah dan keluarganya, kami berdua masih tetap berhubungan. Kami sering berkirim pesan. Dia banyak menceritakan sekolah barunya, teman-temannya, dan juga guru-guru di sekolahnya. Sarah sepertinya tak mengalami masalah apapun di sana, aku senang mengetahuinya. Sarah juga bercerita, tim basket di sekolahnya boleh dibilang lumayan kalau tak mau dibilang hebat. Dia berkata banyak anak-anak tim basket putrid yang sebanding denganku. Tetapi dia tetap berkata bahwa aku pasti bisa dengan mudah mengalahkan mereka jika aku ada di sana. Aku tertawa ketika mendengar ini. Sarah tetap saja sama. Dia selalu berlebihan padaku.
Kira-kira awal Desember, aku kehilangan handphone-ku. Dicopet di dalam bus saat aku hendak pergi bersama beberapa teman sekelasku. Rencananya kami akan jalan-jalan bersama. Sebuah rencana hari yang menyenangkan, namun berubah menjadi musibah untukku. Sebenarnya orangtuaku tak mempermasalahkan soal kehilangan itu.
“Itu murni kecelakaan, bukan kesengajaan.” Itu yang mereka bilang.
Meskipun benar apa kata mereka, aku tetap menyesalinya. Kenapa aku begitu ceroboh? Sekarang sempurna sudah Sarah dan aku hilang hubungan. Aku tak pernah menuliskan nomor Sarah ataupun alamat barunya. Handphone yang hilang itulah satu-satunya penghubung kami, dan kini lenyap.
Ku pandangi lama bola basket di tanganku. Ku putar perlahan hingga kutemukan namaku dan Sarah terukir di sana. Semakin lama kupandangi bagian itu. Hingga akhirnya ku dribble bola itu dan ku lakukan lay up sekali lagi, mungkin yang terakhir untuk hari ini.
“Prakk..” Gagal. Bola itu memantul di papan atas ring, melambung cukup jauh.
“Aduh..” Terdengar suara dari belakangku yang masih memandangi ring basket.
“Ah..” Segera ku balikkan tubuhku dan ku lihat seseorang di sana, di tepi lapangan basket sedang mengusap kepalanya dengan sebelah tangan sementara tangan yang lain memegang bola basket. Bola basketku!
Kakiku berlari ke arah orang itu. Kutangkupkan tangan dan segera meminta maaf.
“Sori.. Sori.. Tadi gak sengaja.” Ucapku beruntun.
Orang itu memandangku sekilas dan memandang bola basketku.
“Oh, gak papa kok. Nih bolamu.” Dia menyerahkan bolaku kembali. Tentu saja ku raih bola itu dengan senang, setengah merasa bersalah.
“Oh ya. Jangan lupa. Lain kali kalau maih hati-hati.” Kata orang itu dengan nada jahil. Dia tersenyum padaku dengan sebelah tangan masih mengusap-usap kepalanya yang menjadi sasaran bola ‘nyasar’ku.
“Iya. Makasih.” Kataku padanya, balas tersenyum. ‘Orang ini sepertinya menyenangkan.’ Itulah pikirku pertama kali melihatnya. Dari penampilannya ia tampak lebih tua dariku. Mungkin anak SMA. Wajahnya? Lumayan mungkin, entahlah aku tak terlalu peduli soal itu.
Ku lanjutkan permainan basket sendirianku itu hingga petang menjelang. Tak memperhatikan bahwa ada sepasang mata yang lekat mengamatiku. Mata milik orang yang tadi menjadi ‘sasaran’ bolaku.
~.~.~.~.~.~
Seperti biasa, aku pergi ke lapangan basket itu. Lapangan basket tempatku bermain sejak mula aku mengenal basket. Lapangan tempat aku dan Sarah sering menghabiskan senja. Sebuah lapangan basket di dalam kompleks sebuah SMA.
Sebelum memulai permainanku, seperti biasa. Aku berdiri di daerah 3 point. Menatap bola basketku lekat, memutarnya perlahan hingga sampai pada satu titik, dan memejamkan mataku. Aku mengingat kembali saatku bersama Sarah. Aku mengingat saat kami tertawa, aku mengingat saat aku merebut bola dari tangannya dan dia memasang ekspresi jengkelnya. Kadang aku tersenyum sendiri dalam kenangan itu. Kini aku hanya bisa mengingatnya, karena Sarah dan aku tak terhubung lagi. Benang yang mengikat kami telah putus.
Setelah puas mengenang, ku hembuskan nafas perlahan. Kakiku menjejak tanah dan mulai kulakukan dribble memutari lapangan dan diakhiri dengan lay up.
“Plung..” Bolaku masuk. Sempurna, aku manatap puas dan segera kulakukan rebound.
“Plung..” Masuk lagi. Ku raih bola basket itu dan ku dribble menuju tepi lapangan.
“Plok.. Plok..” Terdengar sebuah tepukan pelan dari belakang. Ketika ku arahkan pandanganku ke sumber suaru. Ku akui aku agak terkejut mendapati orang itu, korban bola ‘nyasar’ku tempo hari berdiri dengan santainya di belakangku. Mengenakan seragam sekolahnya, lengkap dengan tas di bahunya.
“Hebat juga rupanya kamu.” Dia tersenyum cerah padaku. Membuat separuh darahku berdesir ganjil.
“Makasih.” Ucapku kemudian secara refleks. Agak malu juga aku dipuji seperti ini.
Seketika, hanya ada diam di antara kami. Aku memandangnya, sekilas dia tampak sama dengan pertemuan kami kemarin. Tapi harus kuakui dengan seragamnya ini ia terlihat lebih dewasa menurutku. Yah, mungkin karena aku masih SMP.
Tiba-tiba terdengar sahutan dari sisi lapangan.
“Van!” Suara rendah seseorang mengalihkan pandangan kami. Ku lihat dia berlari mendekati kami dan menepuk bahu orang itu.
“Buruan Van. Si Agus udah mencak-mencak tuh!” Cerocos orang yang baru saja tiba di dekat kami itu.
“Wah.. Oke deh.” Jawa orang korban bola nyasarku. Memandangku kemudian.
“Duluan ya.. em..”
“Erin.” Jwabku cepat, menyadari kebingungan orang itu.
“Oh, oke. Duluan ya Erin.” Ulangnya sekali lagi.
Itulah awal kedekatanku dengan kak Revan. Dia sering ada di lapangan itu ketika aku ke sana. Katanya dia harus mengurusi sesuatu tiap pulang sekolah, itulah jawabannya ketika ku Tanya kenapa masih ada di sini. Memang biasanya kompleks sekolah ini selalu sepi setiap aku dating ke sini, sejak dulu. Kecuali memang jika ada kegiatan yang dilangsungkan di malam ataupun sore hari.
Kami cukup dekat, sampai tanpa sadar aku menganggapnya sudah seperti kakakku sendiri. Kami sering berbincang tentang basket dan bahkan semuanya. Sejak saat itu, permainan basketku tak lagi sendirian. Kami bermain bersama, one on one. Kak Revan lawan yang cukup sulit, kemampuan basketnya lumayan. Untuk mengimbanginya aku harus berusaha sekuat tenaga. Mungkin inilah salah satu alas an kenapa belakangan skill basketku meningkat.
Kak Revan tipe orang yang asik diajak bicara. Tanpa sadar, aku sudah berbicara terlalu banyak tanpa dipaksa. Semua murni karena aku ingin melakukannya. Dia adalah orang yang membuatku nyaman, bahkan untuk bercerita tentang Sarah sekalipun. Kak Revan berkata bahwa sayang sekali untukku diam saja mengenai Sarah. Seharusnya aku mencarinya.
Seketika mataku serasa dibuka lebar, benar juga apa katanya. Jika aku masih menganggap Sarah berharga sebagaimana aku menganggap bola basket kami harta berhargaku, sudah sepantasnya aku berusaha untuk menemukan Sarah. Bukan berdian diri dan pasrah menerima takdir.
Pernah suatu ketika kak Revan menanyakan kenapa aku tak mencarinya lewat jejaring sosial.
“Arghh… Gak kepikiran…” Jawabku saat itu. Menutupkan tanganku ke wajah dan menghela nafas perlahan.

Bagaimana aku bisa sampai tak berfikir seperti itu?

Kami akhirnya mulai mencari Sarah. Sadar dengan kemungkinan akan banyaknya pengguna jejaring sosial dengan nama Sarah, kami berusaha mempersempitnya hingga ada sekitar tiga orang. Kami menghubungi mereka bertiga dan menemukan hanya tersisa satu kemungkinan. Namun sayang, akun tersebut sudah lama tak menampakkan aktivitas penggunanya. Akhirnya kami mencari pada jejaring sosial lain. Kami menemukannya. Sarah.
Kami mendapatkan nomor telfonnya, dan saat itu juga kuhubungi dia. Benar saja, aku mendengar suara Sarah di seberang sana. Kami berbincang lama sekali, setelah sebelumnya aku meminta maaf. Kami terlalu asik sampai aku lupa pada kak Revan di sebelahku. Dia hanya melemparkan senyum ketika aku memandangnya, di hadapannya masih terbuka layar laptopnya yang tadi kami gunakan.
Hari sudah cukup sore ketika ku sudahi percakapan telfon itu. Ku raih bola basketku untuk ku pandangi sudut kecil bertuliskan namaku dan Sarah di sana. Lama sekali ku pandangi, sampai akhirnya ku alihkan pandanganku ke lapangan basket. Aku bisa melihat dengan jelas, di sana aku dan Sarah bermain basket bersama.
~.~.~.~.~.~.~
Ini adalah hari terakhirku di kelas sepuluh. Rasanya baru kemarin aku menginjakkan kaki di sini untuk pertama kalinya sebagai siswi SMA. Semuanya serasa berjalan begitu cepat, hampir setara dengan marathon. Tak terasa juga seminggu sudah sejak aku pertama kali mendengar suara Sarah lagi setelah dua tahun. Senyumku terkembang begitu lebar memikirkannya.
Liburan kali ini, Sarah berkata bahwa ia akan mengunjungi neneknya di Semarang. Itu artinya kami bisa bertemu. Tak sabar rasanya menunggu saat itu tiba.
Senyumku mengembang kian lebar. Membiarkan diriku berdiam memegang bolaku, oh maksudku bolaku dan Sarah.
“Melamun aja..” Tiba-tiba bola itu lenyap dari jangkauan tanganku. Beralih terpantul-pantul dalam dribble tangan kak Revan.
“Ah! Curang!!” Seruku sambil berlari, mencoba merebut bola di tangan kak Revan. Percuma, skill-ku memang meningkat tapi skill kak Rvan masih di atasku.
Setelah beberapa menit, akhirnya aku menyerah. Duduk begitu saja di tengah lapangan. Capek.
“Haha.. Kasian.” Kak Revan men-dribble bola ke arahku. Memutariku sekali dan berhenti. Dia duduk di hadapanku. Aku memasang wajah sebal dan memilih menengadah menatap langit.
“Hahhh…” Ku jatuhkan tubuhku perlahan ke lantai beton lapangan basket. Memandang langsung awan dan langit yang kemerahan, khas senja. Sementara kak Revan beralih menatap bolaku dan Sarah.
“Jadi ini sebabnya kamu suka mandangin bola ini ya Rin?” Kata kak Revan begitu menyadari tulisan kecil namaku dan Sarah di sudut kecilnya.
“Hehe..” Aku hanya tertawa. Aku tak pernah memberitahu orang lain tentang hal itu. Hanya milikku dan Sarah.
“Ketawa aja kamu.” Kak Revan ikut tertawa juga akhirnya.
“Hem, aku ada ide.” Seru kak Revan tiba-tiba. Dia bangkit menuju tepi lapangan basket tempat tas kami berada, sepertinya mengambil sesuatu. Aku tetap berbaring memandang langit sambil sekilas meliriknya dari sudut mata, malas untuk berdiri.
“Ngapain kak?” Sahutku setelah ku dengar suara langkah kaki kak Revan mendekat. Saat itu ku pejamkan mataku, menikmati sensasi berbaring di bawah langit yang memerah.
“Hem..” Kak Revan hanya menjawab dengan gumaman. Terdengar suara seperti goresan-goresan benda licin, berdecit.
“Bolanya diapain kak?!?” Seketika aku membuka mata khawatir bolaku dan Sarah kenapa-napa.
“Sudah.” Dengan bangganya kak Revan mengangkat bola itu tinggi-tinggi. Kemudian dia mengikutiku, berbaring menatap langit senja.
“Nih.” Kak Revan menyerahkan bola itu padaku, disunggingkannya senyum penuh arti.
Aku hanya menatapnya bingung dan menerima bola itu. Ku periksa dengan teliti apa yang telah dilakukan orang ini. Ketika sampai pada tulisan kecil namaku dan Sarah, ku temui tulisan yang nampak baru saja dibuat. Begitu membacanya, wajahku memanas. Aku tersipu.
“Gimana?” Kak Revan bertanya lembut padaku.
“Ya..” JAwabku pelan, aku malu sekali tapi tak bisa ku ungkiri bahwa aku juga sangat senang.
Sore itu kak Revan meraih tanganku, menggenggamnya erat. Kami bersama menghabiskan sore itu memandangi langit yang nampak merah cantik, meski mungkin wajahku lebih merah.
~.~.~.~.~.~.~
Kini bola basket ini bukan lagi milikku dan Sarah saja, ada nama pemilik baru di sana. Bersebelahan dengan namaku, dipisahkan oleh symbol berbentuk hati, “Revan”. Entahlah, mungkin justru aku malu untuk memperlihatkannya pada Sarah, tapi dia juga pemiliknya. Pemilik dari irisan bola basket ini.

Apa yang kau lihat dari bola basket berhargaku ini? Kesatuan bola basket yang sempurna ini?

Bagiku ini adalah kesatuan dari iris demi iris bagiannya.

Pertama, irisan untuk Sarah sahabatku yang harus kuakui membuatku iri dengan semua penampilan dan perilakunya yang sangat ‘cewek’.
Irisan ke dua, untukku yag terus menjaga bola ini, harta berhargaku.
Dan irisan yang ketiga, untuk kak Revan yang dengan tiba-tiba dan tanpa kata “I Love You” atau semacamnya, dia membuatku bersamanya. Aku yakin pasti wajahku memerah lagi tiap memikirkannya. Sekarang saja, aku memerah semerah tomat. Berada di sampingnya sekali lagi, menghabiskan senja yang lain bersamanya lagi.

Sedangkan untuk irisan yang terakhir, untuk kalian orang berhargaku yang belum kutemui.

Maukah kau menerima seiris bola basket?

~.~.~.~.~.~

Tidak ada komentar: