Minggu, 10 Juli 2011

Akankah Kau Bilang..

hidupmu bagai sebuah buku..
terurai berbagai kisah..
manis..
pahit..
haru..

ketika kau rasa benci seseorang..
akankah kau bilang "woy.. lu nyebelin banget tauk!"
ataukah berkata lembut padanya
mengkritik dengan halus?

itu adalah pilihanmu sendiri..
aku tak berhak memaksa..
orang lain tak berhak menghakimimu..

tapi aku akan bilang..
"tahan emosimu.. coba deh..
kamu pikirin.. saat orang itu menjadi orang yang tak kamu benci..
saat kamu bertemu dia tak ada hasrat untuk memaki..
dan ketika mungkin saat dia baik kepadamu..
tahan amarahmu dengan semua itu..
dinginkan pikiranmu dengan embun penyejuk jiwa..
tak ada kan manusia yang sempurna?"

ketika kau rindu seseorang..
terkadang bencikah kau padanya?
mengapa orang itu membuatmu merasakan rindu?
atau..
menyesalkah dirimu karena ternyata hanya sedikit waktu bersamanya?

hanya kaulah yang memutuskan apa yang kan kau rasa..
bibit benci ataukah penyesalan..
itu semua tak berhak untukku menghakimi..

tapi aku hanya akan bilang
"coba kamu renungi dirimu..
masuklah dalam dirimu lebih dalam..
dalam...
dan dalam...
apakah telah kau temukan sesuatu? ataukah gelap?
temukanlah satu kenangan saat kau bersamanya..
temukanlah bagaimana dirimu saat itu..
dan simpanlah kenangan yang terpenting baik-baik dalam memorimu..
bukalah kembali memori itu saat kau rasa rindu..
biarkan itu menjadi penggantinya..
yang selalu ada dalam dirimu..
dan kini kenangan manis itu yang akan ada..
bukan lagi rindu yang menyiksa.."

Ajari Aku..

hidupmu bagai sebuah buku..
terurai berbagai kisah..
manis..
pahit..
haru..

ketika kau rasa benci seseorang..
akankah kau bilang "woy.. lu nyebelin banget tauk!"
ataukah berkata lembut padanya
mengkritik dengan halus?

itu adalah pilihanmu sendiri..
aku tak berhak memaksa..
orang lain tak berhak menghakimimu..

tapi aku akan bilang..
"tahan emosimu.. coba deh..
kamu pikirin.. saat orang itu menjadi orang yang tak kamu benci..
saat kamu bertemu dia tak ada hasrat untuk memaki..
dan ketika mungkin saat dia baik kepadamu..
tahan amarahmu dengan semua itu..
dinginkan pikiranmu dengan embun penyejuk jiwa..
tak ada kan manusia yang sempurna?"

ketika kau rindu seseorang..
terkadang bencikah kau padanya?
mengapa orang itu membuatmu merasakan rindu?
atau..
menyesalkah dirimu karena ternyata hanya sedikit waktu bersamanya?

hanya kaulah yang memutuskan apa yang kan kau rasa..
bibit benci ataukah penyesalan..
itu semua tak berhak untukku menghakimi..

tapi aku hanya akan bilang
"coba kamu renungi dirimu..
masuklah dalam dirimu lebih dalam..
dalam...
dan dalam...
apakah telah kau temukan sesuatu? ataukah gelap?
temukanlah satu kenangan saat kau bersamanya..
temukanlah bagaimana dirimu saat itu..
dan simpanlah kenangan yang terpenting baik-baik dalam memorimu..
bukalah kembali memori itu saat kau rasa rindu..
biarkan itu menjadi penggantinya..
yang selalu ada dalam dirimu..
dan kini kenangan manis itu yang akan ada..
bukan lagi rindu yang menyiksa.."

Sepotong Cerita Manis

kubaca sebuah cerita..
buatku berfikir akan sempitnya pikiranku..
cerita yang tak bagus..
hanya manis...

terlukis musim panas yang kehilangan warna..
dan bertanya pada musim gugur..
"Hei, langit itu seperti apa?"
musim gugur terdiam sejenak..
"langit itu biru"
mungkin kata inilah yang kita mungkin ucapkan..
tapi musim gugur berkata..
"Langit itu.."
musim gugur tersenyum lembut kepada musim panas..
memandang langit..
"Langit itu seperti warnamu saat sedang gembira lho..
senyummu yang alami dan terasa nyaman adalah warna yang sangat indah..
langit dan lautpun kini bersinar secermelang dirimu.."
musim gugur berkata demikian sambil tersenyum..
manis..
memandang sang musim gugur..
musim panas juga tersenyum..
"ya.. kalau cemerlang aku tahu seperti apa.."
kata sang musim panas sambil memandang musim gugur yang sedang tersenyum lembut...

Bukan Hanya Satu Cinta

Bukan Hanya Satu Cinta


Tetes demi tetes air mata kini mulai membasahi pipi Amel bak embun yang merayapi tulang-tulang daun di pagi hari. Hancur sudah hati Amel kini. Melihat pacarnya menduakan dirinya sudah cukup menyakitkan baginya, apalagi ternyata sahabatnya sendiri yang menjadi selingkuhan pacarnya.
“Wa’alaikumsalam…” kata bunda kaget begitu mendengar suara pintu terbuka tiba-tiba.
“Makan dulu sayang..”
Perkataan bunda tak kuhiraukan lagi. Aku hanya terus berlalu menuju kamarku. Mengenyakkan tubuhku, dan menangis sepuasnya. Hancur sudah . . . hancur berkeping-keping hatiku.
                                           xXxXxXxXxXx
Berat kurasakan ketika melangkahkan kakiku menuju kelas. Aku bingung harus bersikap seperti apa pada Anggre setelah kejadian kemarin.
“Hei Mel . . .” sapa Riri, sahabatku yang satu lagi secara tiba-tiba.
“H..Hei . . .”
“Pelan banget jalanna. Nyolo nih??”
“Hee??”
Riri hanya tersenyum mendengar ucapan bingungku itu. Kami mengambil tempat duduk yang sebangku. Memang, aku menghindar dari Anggre.
“Tuh dia! Akhirnya bunga Anggrek dateng juga!” seru Riri melihat Anggre datang.
Jantungku berdebar keras. “Dag . . Dig . . Dug . .” Aku bingung apakah harus marah atau tidak padanya. Jika aku marah, aku merasa tak enak hati karena dia sudah menjadi sahabatku bukan dalam waktu yang sebentar.
“Seperti biasa, dua menit sebelum bel . . .” kata Kasih pada Anggre yang mengambil tempat di belakangnya. Itu berarti aku dan Anggre hanya berjarak kurang dari semester saja.
“He.. he . . iya nih kak. . .”
Anggre selalu memanggil Riri dengan ‘kak’ yang kurasa agak aneh, karena umur mereka sama. Mereka bilang, itu karena mereka sudah seperti saudara karena sudah berteman sejak kecil.
Akhirnya aku tak memilih untuk marah pada Anggre. Bukan berarti aku memaafkannya. Aku hanya memilih diam.
                                         xXxXxXxXxXx
Semilir angin lemah dari sudut jendela kelas menerpa wajahku, sejuk. Kontras dengan hatiku yang kini sedang patah dan hancur, tetapi aku hanya diam. Tak kupedulikan lagi pelajaran yang sedang diberikan sejak tadi pagi. Aku bahkan tak tahu ini jam ke berapa. Pikiranku kini hanya melayang-layang tak jelas di antara kejadian malam itu dan kenangan-keangan bersama Reno. Reno, cowok itu telah menyita hidupku selama beberapa bulan ini. Ya . . . baru beberapa bulan aku dan dia menjalin hubungan.
Sakit kini mendera lagi dadaku, bak tertusuk-tusuk dan tertikam oleh seribu pisau. Terasa di balik kelopak mataku air mata berusaha keluar, tapi tak bisa kubiarkan itu keluar menembus pertahananku. Tidak untuk saat ini.
“Oi Amel!!!” panggil Riri dengan suara yang cukup keras.
“Hah?? Apa?” kataku kebingungan, dan sekejap menghilangkan lamunan-lamunanku tadi. Heran juga aku, melihat kelas ini gaduh seperti pasar pagi. Tak biasanya.
“Guruna ke mana yah?” kataku spontan.
“Ya Allah Mel. . .  Kamu tuh ngelamunin apa aja sih??” komentar Riri seraya menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Tadi tuh Bu Irma nyerahin tugas ke kita. Beliau ada kepentingan.”
“Owh . . gitu . .” kataku ber- oo ria.
Pantas saja kelas ini ramai, heran juga aku tidak menadarinya.
“Nah . . ayo kita ngerjain tuh tugas BK!! Ganbatte!!” kata Riri penuh semangat.
“Key. . .” sahutku lemah.
Riri menghadapkan diri ke belakang, ke meja Anggre tepatnya. Sadarlah aku bahwa ini tugas kelompok seperti biasanya.
“Oi bunga Anggrek! Sibuk ndiri aja kau. Mana . . . biar Riri sita!”
Riri berkata demikian dan dengan cekatan merampas kertas yang ditekuni Anggre. Anggre tentu saja tidak terima, dan terjadilah aksi rebut-rebutan seperti anak-anak kecil.
“Kak . . balikin . .”
“Gak mau . . wekkk”
“Kak . . balikin dong . .” rengek Anggre.
Melihat adegan ini mau tak mau aku tertawa. ‘Lucunya . .’ pikirku dalam hati. Bagaimana gak lucu, mereka benar-benar mirip kakak-adik yang saling berebutan seperti anak SD saja. Luluh juga kemarahanku pada Anggre, meski luka hati ini tetaplah ada.
“Nah, gitu dong Mel. Jangan pasang tampang kayak dunia mo kiamat mulu!” puji Riri menghentikan perang kecil itu.
“Apalagi kayak cewek yang gak punya ekspresi ini.” Kata Riri pada Anggre yang ternyata telah berhasil mengambil kertasnya tadi dan mulai sibuk sendiri tak bereaksi apapun.
“Ihh . . kamu beneran gak puna ekspresi ya???” Riri sebal dan akhirnya mencubit pipi Anggre gemas. Wah, pasti sakit. .
Seperti biasa, Anggre tak mempedulikan Riri dan hanya diam saja, melanjutkan kembali menekuni kertasnya yang ternyata sebuah desain stiker. Itulah Anggre, dia selalu seperti itu sejak pertama kali aku mengenalnya.
Tak ayal aku jadi meragukan apa yang kulihat kemarin. Aku tahu, Anggre takkan tega melukai sahabatnya. Bahkan dulu dia rela membatalkan rencananya untuk berlibur dengan saudara sepupunya. Padahal dia sangat menantikannya. Itu semua tak lain hanya untuk menemaniku yang takut di rumah sendirian selama seminggu dalam liburan dulu.
“Anggre sahabat yang baik.” Itulah suara yang menggema, mengisi tiap lipatan-lipatan otakku.
                                             xXxXxXxXxXx
“Assalamualaikum…” kata Toni alias Antonio, anak kelas XII yang pinter, ganteng, supel, ramah lagi. Maklum Toni itu salah satu anggota rohis, wakilnya lagi. Jangan salah, meski namanya kayak gitu, keimanannya sudah tak diragukan lagi.
“Wa’alaikumsalam..” jawabku, Riri, dan Anggre bersamaan setelah menelan apa yang barusaja masuk ke mulut kami.
Di sinilah kami, duduk berhadapan di kantin. Tentu saja aku duduk di samping Riri, sementara Anggre duduk di hadapan kami.
“Maaf ganggu… “ katanya sambil memandang sekilas kami bertiga, kemudian berhenti pada Anggre.
“Rei, gimana desainnya?” berkata seperti ini Toni mengambil tempat duduk di samping Anggre.
“REIII????” ucapku dan Riri bingung sambil saling berpandangan.
“Sejak kapan kamu jadi “REI” dek?” tana Riri cepat. Memberi penekanan pada “REI”.
Anggre bukannya menjawab tapi malah asik melahap nasgor lagi. Baru kelaparan juga dia.
Sunyi sejenak, “Krikk krikk…” akhirnya Toni angkat bicara.
“Rei itu panggilan dari sensei di ekskul Jepang karena Anggre nama yang sulit dilafalkan.”  Terang Toni yang menatap Anggre.
“Owh..” kataku dan Riri kompak.
“Eh, ekskul Jepang?? Kok perasaan aku gak pernah denger kamu dipanggil gitu dek?? Kan aku juga penah ikut tuh ekskul??” Riri tiba-tiba saja tersadar.
“Hmm??” Anggre hanya menatap Riri, kemudian sunyi lagi.
“Kan kakak cuma datang 2 kali pertemuan pertama.” Kata Anggre akhirnya, sambil lalu.
“Terus??”
“Sensei ada keperluan selama 2 hari itu..” Anggre menjawabnya lagi-lagi dengan sambil lalu, tetap melahap nasgornya.
“Ohh gitu ya…” Riri ber-o ria, tak peduli pada sifat Anggre yang memang sudah akut itu.
“Wah.. Riri juga pernah ikut ekskul Jepang??” Sekarang giliran Toni yang bertanya cukup antusias.
“I-iya kak.. tapi cuma 2 kali pertemuan..” Jawab Riri malu-malu.
“Ehh? Kenapa berhenti?? Ekskulnya asik kok.. ya kan Rei?” Toni kini beralih profesi menjadi pembujuk rupanya.
“hnn..” Anggre lagi-lagi hanya menjawab seadanya.
“uhm.. ia deh kak.. nanti Riri pikirin dulu.”
“Nah gitu dong..” Toni memasang senyum ramah andalannya yang berefek memerahkan wajah Riri menjadi seperti kepiting rebus.
“Gimana nih desainnya Rei?” kini Toni beralih ketujuannya semula.
Anggre mendongak sekilas pada Toni dengan mulut penuh dan kemudian menelan isi mulutnya untuk menjawab.
“Ehm..” Anggre berkata sambil membuka-buka buku sketsa yang penuh berisi kertas-kertas desain yang selalu dibawana ke mana-mana.
“Ini” Anggre menodorkan salah satu kertas yang kukenali sebagai kertas yang menjadi bahan perebutan dengan Riri dulu pada Toni.
“Wah… bagus!!” puji Toni.
“Biasa aja kok kak..”
Selama beberapa menit selanjutnya aku hanya sibuk sendiri dengan makananku. Selama ini kak Toni dan Anggre memang akrab, atau jangan-jangan mereka sudah jadian!.. Lalu kenapa malam itu Anggre dengan Reno??? Tak tahulah diriku. Tapi ketika aku iseng memandang Riri, aku terkejut. Bukan karena Riri kini telah menjelma menjadi makhluk konyol yang seperti adegan film di-pause. Tapi ini karena tatapan Riri, ya… tatapannya tak pernah lepas dari Toni.. sedetikpun..
Baru kali ini kusadari sekelilingku…
Penuh perstiwa yang tanpa sadar kulewati begitu saja…
Indah, penuh sejuta campuran warna rasa ….
Mengapa bisa ku lupa warna-warna itu?
                                     xXxXxXxXxXx
Tempat tidurku kini menahan sepenuhnya berat tubuhku, bantal kini menjadi dingin oleh air mata. Aku menangis lagi, tak tahan merasakan sakit hati ini. Ku pandangi laar ponselku. Sembilan belas misscall dan 8 messages menantiku tuk membacanya. Semua itu dari orang yang sama.. Reno…
Aku masih sayang dia, jauh di dalam ruang hati ini. Itu semua yang membuatku hanya mendiamkannya, bukannya mengakhiri dengan kata “putus”.
                                     xXxXxXxXxXx
 “Mel, kamu masih belum putus sama Reno?” kata Anggre tiba-tiba seraya menyudutkanku ke dinding.
“Hah?”
“Akh… “ Anggre menepuk keningnya, heran juga melihatnya.
“Mel, aku tanya. Kamu masih pacaran sama Reno?”
Mendengar ini hatiku terasa lagi sakitnya, tertusuk seribu pisau lagi. Bunyi ‘Jleb.. Jleb..’ terasa begitu nyata di telingaku ketika suara Anggre terdiam.
“Be..belum..” jawabku terbata.
Sejenak ku takut jika Anggre marah, selama ini aku tidak pernah melihatnya menampakkan emosi dengan sangat jelas begini. Tapi.. bukan wajah marah yang ku lihat, bukan. Ketika aku meneguhkan hati menatap mata Anggre yang sewarna kulit kayu, aku terkejut. Anggre.. matanya menyiratkan semuanya, sendu, galau, kasihan, jengkel, dan sayang. Sayang.. ya, sayang. Ekspresi rasa itu terlihat begitu jelas mendominasi matanya. Anggre tak mengalihkan pandangan dariku, tetapi dia balik menatapku, tepat di mataku! Seakan dia melihat jauh ke dalam hatiku.
“Mel, kenapa kamu belum ngerti juga??” kata Anggre dengan nada lemah, penuh sayang dan sekilas ku lihat kilau di sudut matanya.
“Apa maksudmu Ang? Aku gak ngerti.” Kataku polos.
Sejenak Anggre terdiam, tetap menatap tajam mataku. Dia menghela nafas panjang dan..
“Kamu ikut aku! Jangan tanya-tanya!!” kata Anggre cepat seperti dikejar maling.
Otomatis aku jawab ‘iya’ karena masih shock.
                                    xXxXxXxXxXx
“Ang, kita mau ke mana?”
Anggre tetap diam seribu bahasa. ‘Jangan tanya-tanya!’ kata-kata Anggre itu terngiang dalam kepalaku secara otomatis. Jadilah kami hanya diam sepanjang perjalanan. Dan di tempat ini rupanya tujuan Anggre, sebuah cafe.
“Mel, sebelum kamu masuk ku saranin tata dulu emosi kamu. Dan apapun yang kamu liat nanti, jangan gegabah.”
Aku bingung, tak tahu apa arti ucapan Anggre barusan. Aku hanya mengangguk dan mengikutinya masuk ke kafe itu. Kami duduk di bangku kosong yang pertama kami temui, di pojok cafe. Tempat yang strategis untuk melihat seluruh isi cafe.
“Pesan apa mbak?” kata seorang waitress.
“Vanilla Latte satu, trus..”
“Kamu apa Mel?”
“A-aku jus melon aja deh..” jawabku kaget.
“Vanilla Latte dan jus melon masing-masing satu.” Kata si waitress mengulang pesanan.
“Yap.” jawab kami serempak.
Setelah si pelayan pergi, kami diam. Anggre sepertinya sibuk mencari orang yang dari pertama masuk sudah dia cari. Maklum, pengunjung cafe saat ini sedang banyak.
“Mel, aku minta kamu ke sini buat nunjukin itu!!” kata Anggre menunjuk ke meja yang sangat jauh dari meja mereka. Dan di sana ada orang itu!! Ya, Reno. Aku bisa langsung mengenalinya. Dan dia, dia.. bersama seorang cewe!!
“Mel…!” kata Anggre.
“I-iya?” jawabku tersadar dari emosi yang sempat membutakanku itu.
“Jangan nangis Mel, air matamu gak pantes buat cowok brengsek macam dia!”
Ternyata benar apa kata Anggre, aku menangis. Segera saja kuhapus air mata itu sesuai saran Anggre.
“Ini pesanannya..”
Dua minuman datang, kami menikmati minuman itu tanpa kata dan aku masih terus saja memandang ke meja Reno. Sekarang mereka berdua sedang… sedang.. kissing!! Shit!!!
Sudah tak bisa lagi ku tahan amarah ini. Aku bangkit sambil membawa jusku menuju meja Reno.
“Mel.. jangan!” Anggre menahan tanganku.
“Aku udah gak kuat lagi Ang. Mau gue putusin sekarang juga tuh cowok dodol!”
“Kamu yakin?”
“Seribu persen!!” jawabku sambil tersenyum.
Akhirnya Anggre melepasku dengan senyum juga, mengisyaratkan dukungan penuh untukku. Aku berjalan dengan mantap ke meja Reno.
“Hai Reno!” sapaku dengan senyum.
Reno menoleh dan dia sangat terkejut, wajahnya seperti ekspresi ayam mau disembelih.
“A.. Amel..” kata Reno terbata.
“Selamat ya, udah berhasil selingkuh!” kataku sambil mengguyurnya dengan jus melonku.
Semua terkejut, bahkan perhatian penghuni cafe kini beralih ke kami.
“Dan selamat juga, karena sekarang kita PUTUS!” kataku keras.
Aku mangmbil selangkah meninggalkan meja Reno dan berbalik lagi..
“Oh iya… Hampir lupa! Ini hadiahnya!”
“Plakkk…” suara keras tamparan muncul.
Reno hanya diam, mengelus pipinya yang kutampar. Masih shock mungkin.
Aku tak membuang waktu lagi. Aku segera pergi dari tempat itu. Samar-samar kudengar si selingkuhan yang ternyata juga dibohongi meminta putus dan menamparnya juga. Senyumku terkembang, kini aku merasa semua beban sudah hilang dari tubuhku, entah ke mana. Kuhampiri Anggre yang sudah siap keluar, dia memasang senyum puas dan bangga. Kami keluar dan betos, tertawa lepas menghilangkan semua perasaan yang mengganggu.
Cinta itu indah, aku merasakannya
Cinta itu juga menedihkan, aku juga pernah merasakannya
Cinta itu satu, mungkin benar
Tapi yang pasti cinta untukku bukan hanya satu
Masih ada cintay ang lain menanti
Sampai akhirnya ku temukan cinta sejatiku
                                               xXxXtHe ENdXxXx


Ini adalah sebuah kisah yang ada gara-gara tugas bahasa Indonesia. Dikeranakan kretifitas author yang sangat minim. Persamaan, nama, tokoh, cerita, dan alur harap dimaklumi. XD
                                                        ~OwaRI~

Tak Harus Selalu Sedarah

Tak Harus Selalu Sedarah

Genre: General, Hurt/Comfort, Family
Rating: T
Main Characters: Naruhina
Warning: OOC, alur sedikit tidak jelas mungkin sangat tidak jelas XD plus ending yang kurang memuaskan (mungkin sangat XD)
Disclamer: Naruto © Masashi Kishimoto
Presented by Azorami-clan
~hajimeMashou~
Kenapa? Kenapa harus ada pembatas? Kenapa tanpa ikatan itu tak bisa?
Pertanyaan-pertanyaan itu terus menggema memenuhi tiap lipatan-lipatan di otakku. Menembus berbagai penghalang yang kubuat yang membuatnya tetap tinggal dalam otakku, yang kadang memenuhinya yang kadang juga membuatku merasa sesak. Sesak dengan semuanya, bahkan diriku sendiri. Shit!
~w~W~w~
Seorang cowok berambut jabrik sewarna nanas ( kalian udah tau pastinya siapa) bangun dari tempat tidurnya dengan malas tentunya.. Melangkah menembus udara kamarnya yang terasa sangat gelap. Membuka jendela dan membiarkan semilir angin dingin pagi hari masuk.. melewatinya.. memukul lembut wajahnya tiap hembusan yang masuk. Rambut nanasnya berpusar pelan tiap kali hembusan-hembusan itu menampar wajahnya. Memejamkan matanya dia menarik nafas dalam, membiarkan nafasnya senada dengan angin dan membiarkan angin-angin dingin itu menyentuh tiap pori wajahnya. Semburat warna jingga mentari menerpa wajahnya, berpadu dengan warna rambutnya yang kini menyatu menjadi gradasi warna merah-kuning. (ugh… keren… -)
~3 tahun lalu~
"Kau.. kau tak pantas bicara seperti itu padaku! Kau bahkan tak berhak memanggil namaku! DOBE!"
"Apaan kau Sasuke? Apa maksudmu hah?"
"Cih.. kau munafik Naruto.. Kau bahkan tak tahu apa arti ikatan keluarga yang sebenarnya tapi kau malah menceramahiku. Simpan saja ceramahmu untuk dirimu sendiri!"
Sasuke melangkah pergi dengan bunyi pintu yang tertutup dengan keras.
Naruto tau dia bersalah… ya dia memang bersalah.. atau setidaknya itulah yang dirasakannya. Memang dia tak punya keluarga saat ini, tapi bukankah hubungannya dengan Sasuke sudah seperti saudara? Seperti keluarga? Apakah yang disebut keluarga itu harus memiliki ikatan darah? Dan apakah jika tak ada darah yang menghubungkannya itu tak bisa disebut keluarga?
"Aku rasa tidak Sasuke.. " Naruto menghembuskan kata-kata itu pelan, perlahan…
Dia menoleh pelan ke arah pintu yang masih menyisakan bayang ada Sasuke, menatapnya.. Pelan, dia berkata
"Karena… bagiku kau adalah keluargaku, saudaraku.."
~w~W~w~
~2 tahun lalu~
".." (ahaha panjang bener dah belnya… T.T) Bel istirahatpun berbunyi, tiap siswa keluar dengan semangatnya dari kelas atau lebih tepatnya menyerbu keluar kelas XD. Ada yang langsung ke kantin karena sudah tak tahan dengan nafsu (makannya.. :p), ada yang ke perpus untuk bersua dengan satu-satunya hal yang terpikir ketika mendengar tempat itu (buku.. XP), dan ada juga yang berkeliaran (emang.a hewan ak? XD) di sekitar kelas-kelas, bangunan, kolam, beton (?) dan segalanya (?). Nah sekarang kita beralih pada tokoh2 kita.
Satu… Dua… dan… Ti.. ga..
"Brukkk…" (tabrakan sukses terjadi.. :lol: )
"Go.. Gomenasai.." gagap cewek berambut indigo(yap.. hinata-chan..^0^) sambil merapikan setumpuk kertas ulangan yang kini berserakan.
"Iie.. seharusnya aku yang minta maaf. Ku akui tadi aku agak melamun." Senyum naruto mengembang (cengiran tepatnya …wawwaw…/) dan seperti biasa kedua tangannya berada di belakang kepalanya. (aih… -)
"Gak apa kan?" tanya rambut jabrik itu lagi. (baka.. udah tau hina-chan jatoh juga.. mana bawaannya berkeliaran lagi.. bantuin kek bukan cuman tanya kayak gitu… "oi.. emangnya sapa juga yang bikin skenario! Mana klise banget lagi.. gak kreatif!" *nimpuk author make rubik*. "Pletak" wadaw.. sakit oi! Mana kena pujuknya lagi… *ngelus-elus jidat* lempar pake paan seh.. atit amat.. *ngliat rubik* Whaaaaaa rubik….. *langsung maen tanpa meduliin apa-apa lagi* "ckckck author aneh.." woi.. apa lu bilang? *nglempar naru pake benda yang ada di tangan* ah.. rubiknya…. *ngejar rubik…*)
"Un.. nggak papa.." Hinata melirik Naru sekilas yang kemudian dilanjutkan ngumpulin kertas-kertas yang berkeliaran..
"Ah.. iya.." naru segera membantu Hinata mengumpulkan kertas.
Yak.. singkat kata akhirnya naruto bantuin hina-chan buat ngambilin kertas yang berkeliaran itu. Dan akhirnya karena naruto emang gak ada kerjaan jadilah dia bareng hinata buat bantuin hina-chan bawa kertas itu. (haha maklum author lg malez + gk da aide bwa nulis sih.. XD)
*Setelah menyerahkan kertas" yang sempat nakal berkeliaran ke guru yang bersangkutan*
~Di depan ruang guru~
"A.. arigatou gozaimasu naruto-kun" wajah merah merona menghiasi wajahnya ketika dia mangeluarkan suara.
"Douita hinata.." masih dengan cengiran khasnya yang bikin hina-chan tambah blushing.
"Oh ya.. kamu mau ke mana Hinata? Kelas?"
Hinata hanya menggeleng, terlalu gugup untuk mengeluarkan suara.
"Oh.. Kalau begitu aku duluan ke kelas dulu ya Hinata.." Naru menyunggingkan senyum andalannya lagi. (heran dah.. senyam senyum mulu dari tadi yak.. =.=" author yang kagak kreatip).
Sebenarnya Hinata enggan untuk melepaskan moment berdua(cieee…) dengan Naru yang sangat sulit didapat ini. Tapi, apa daya.. dia lagi-lagi terlalu gugup. Jadilah ia hanya mengangguk pelan.
"Jya Hinata.." Naru melambaikan tangan sekilas kemudian berbalik, berjalan menjauh.
"Jya Naru-kun.." Kata itu pelan, rapuh yang tertiup angin. Tak mungkin terdengar oleh Naruto yang melangkah pergi.
Hinata hanya menatap Naruto. Dia lagi-lagi hanya bisa menatap punggung Naruto yang melangkah pergi. Begitu selama berkali-kali. Meski ingin sekali lebih lama bersama pemuda yang sejak awal telah menarik perhatiannya itu Hinata tidak sanggup memintanya untuk tinggal. Dia tak punya hak untuknya, ahh.. memangnya punya hak? Ya, Hinata tak punya hak, dia bukan siapa-siapa untuk Naruto. Hanya teman.. atau bahkan hanya sekedar kenalan.. mungkin..
Kapan mungkin itu berubah menjadi kepastian. Saat yang ia tak bisa bayangkan, meskipun masih cukup lama dari masa ini, tapi pasti.
~w~W~w~
~tahun ini~
Siang menjelang sore itu seperti biasa waktunya pelajaran, dan seperti biasanya juga hari ini Kakashi-senseilah yang berada di depan ruang kelasnya Naru dkk. Meskipun Kakashi-sensei terkenal agak keras, banyak anak yang tidak memperhatikan Kakashi-sensei (ya ialah.. orang mereka baru disuruh ngerjain tugas.. XD). Tapi coba kita tengok ke barisan tengah agak belakang. Terereng.. *drum sound* di sana terlihat Naruto, Kiba, Choji, Shika yang malah sedang asik bergosip ria (*author ditimpuk beruntun pake pensil, penghapus, pulpen, sampe kompi (?) mereka berempat* Stop! Ia.. ia.. saia ganti.. =3=) maksudnya ngobrol.
Hinata yang memang kebetulan sudah selesai dengan pekerjaannya kini beralih mengamati seseorang. Siapa juga kalau bukan Naruto. Naruto tertawa, tersenyum, terkejut dan tertawa lagi bersama empat serangkai lainnya. Lekat ia mengamatinya, hanya mengamati dari jauh. Selama ini memang hanya begini, mengamati dari jauh, sekalipun bertemu ralat.. kebetulan bertemu Hinata tak bisa bicara banyak karena gugupnya jika berhadapan dengan Naruto. Baginya begini sudah cukup, hanya mengamati. Tapi.. belakangan ini ada yang berbeda dari Naru-kun. Bukan apa-apa mungkin, karena dia tetap seperti dulu, seperti biasanya. Namun, jelas ada yang berbeda, meski samar pasti ada. Entah mengapa Naru-kun terlihat agak sedikit sedih sejak masuk koukou, terkadang meskipun tertawa tetap terlihat. Memang sangat agak sedikit hingga nyaris tak terlihat. Tapi Hinata tahu.. Naru-kun berubah..
Cringg.. Cringgg..
Kakashi-sensei akhirnya mengeluarkan tatapan mata bajak lautnya yang tajam kepada Naru dan 4 serangkainya yang masih asik ngobrol tanpa memedulikan sikon.
"Plakkk…" Empat buah benda meluncur sukses ke kepala Naru, Choji, Kiba, dan Shika menimbulkan bunyi aduh hampir bersamaan dari mulut mereka.
"Karena ku lihat kalian sudah santai. Berarti kalian sudah selesai mengerjakan soal dariku bukan?"
"Glek.." otomatis ludah mereka telan.
"Kerjakan di depan!" Kakashi-sensei mengeluarkan perintah mutlaknya.
~w~W~w~
"Wuih.. Gila.. Manteb banget tuh sensei kalo soal ngasi ceramah. Mana kita masih di kasi hukuman piket lagi!" Keluh Kiba yang enggan melaksanakan hukuman itu.
"Iya.. enak bener yang mustinya piket malah nggak kerja." Timpal Choji yang selalu bermulut penuh.
"Merepotkan.." tambah siapa lagi coba, kalau bukan si nanas jabrik Shikamaru.
"Iya tuh sensei emang gitu sih daridulu gak pernah brubah..hehe" Naruto nyengir memperlihatkan deretan giginya.
Kiba, Choji, dan Shika terdiam mendengar senyum Naruto. Dua detik kemudian mereka berpandangan, seperempat detiknya lagi senyum licik mengembang di wajah mereka. Naruto seketika merasakan sesuatu yang ganjil pertanda kesialan.
"Nah Naruto.. Karena sepertinya kamu masih banyak tenaga.." Kiba menyeringai.
"Eh?" Naruto mulai menyadari hal yang buruk.
"Plus terlihat lagi hepi.." Sambung Choji.
"Glekk.." ludah mengalir masuk melalui kerongkongan Naruto.
"Ditambah, aku lagi males banget.." Kali ini giliran Shika.
"Hee?" Firasatnya benar-benar jitu.
"Kami serahkan tugas ini padamu, kawan" Mereka bertiga berkata lebih tepatnya memerintah, tersenyum penuh arti. (hihihi.. ada tanduk dah di pala mereka XD)
"Nee?"
Belum sempat Naruto mengeluarkan keberatannya, mereka malah sudah menyerahkan alat yang mereka pegang pada Naruto dan hilang secepat burung. Ah.. tinggallah tokoh utama kita sendirian di kelas yang sepi, hanya satu penghuni. (udah kayak horror dah.. tinggal munculin permen sugus atau sejenisnya nih.. *tawa jail*).
"Hah.." Naru menghela nafas dan terduduk di lantai di dekatnya yang memang lebih tinggi. (ya ialah.. kan itu deket whiteboard. Biar yang lagi njelasin kelihatan gitoh.. XD)
"Lagi hepi ya?" Naruto mendesah, berat dan penuh enggan.
"Heh.." Dia tersenum sinis, senum yang tak biasa bahkan belum pernah sekalipun ia tampakkan.
Naruto memang ceria, selalu tersenyum tak jarang pula tertawa atau setidaknya terlihat seperti itu. Selalu tersenyum entah kenapa sudah menjadi suatu reflek pada dirinya, agar orang tak terlihat sedih di depan matanya karena dirinya dan tidak mengasihinya. Paling tidak senyum lebih mudah daripada bersedih. Meskipun hancur, mungkin akan tetap tersenyum, agar tak menyusahkan orang lain, agar tak ada lagi yang meninggalkannya.
"Tap.. tap.. tap.." suara langkah kaki terdengar semakin keras seiring mendekatnya langkah itu ke kelas.
Pintu perlahan membuka dan menampakkan Hinata dibalikknya yang melangkah masuk.
"Na-Naru-kun.." Hinata terkejut mendapati Naruto duduk di lantai tak jauh dari pintu, sedang memndang sesuatu. Pandangan yang kosong, tak terfokus pada apapun.
"Ahh.. Hinata" tersadar juga Naruto dengan kehadiran Hinata, mengalihkan pandangannya pada cewek itu.
"Kok kembali lagi?" Seperti biasa senyum andalannya tersungging.
Hinata mulai terserang gugupnya lagi, blushing seperti biasa.
"A.. ano.. ada barang ketinggalan.." Jawab Hinata yang kini sudah bersemu merah semerah kepiting masak XD.
"Ahh.. souka.. " Naruto mengangguk-angguk (udah kayak burung pelatuk dah.. :lol:)
Hinata buru-buru malangkah menuju bangkunya dan mengambil sesuatu dari lacinya karena saking gugupnya. Sesuatu yang ternyata buku catatan bersampul biru sewarna mata Naruto.
"Sudah?" tanya Naruto, tersenyum ramah.. (ugh.. Sebel dah bisa bikin naruto kayak gini... T3T)
"Haik.." Jawab Hinata malu-malu.
Dia mulai melangkah menuju pintu, dan kemudian berhenti ketika tinggal beberapa langkah saja untuk keluar kelas. Ya.. Hinata berhenti, setelah dalam gugupnya yang cukup lama akhirnya dia memutuskan untuk mengambil langkah.. ya langkah ke depan.. bukan hanya sekedar mengamati.. tapi lebih.. Memang tamak mungkin, tapi biarlah..
Hinata berbalik. Ketika dia melihat Naruto, tatapan Naruto kembali seperti tadi, hanya kosong bukan seperti Naruto yang biasanya, sangat bertolak belakang malah.
"A..ano Naruto-kun" Hinata membuka suara (do.. re.. mi.. Jadi nyanyi dah.. XD)
"Ehh.." Naruto terkejut, dia pikir Hinata sudah pergi.
"A.. ano.. Doushite Naruto-kun?" Hinata bertanya demikian dengan nada yang lembut.. menenangkan dan lagi wajahnya teduh..
"Nee? Maksudnya?" Kaget, Naruto terkejut.. sekali.. Jangan-jangan Hinata tahu? Itulah yang ada di kepalanya sekarang.
"Mmm.. Mak.." Hinata terlampau gugup menjawabnya. "Maksudku.. Ke-Kenapa Naruto-kun belum pulang?" Masih tergagap juga ia. "Bu..bukankah Kiba-kun, Shikamaru-san,dan Choji-san sudah pulang?" akhirnya selesai juga kalimatanya, meskipun wajahnya tetap memerah namun ini melegakan.
"Ohh.. Ini.. Semua tugas bersih-bersih mereka ditimpakan ke aku. Jadilah bersih-bersih sendirian." Naruto tersenyum, lega dia karena ternyata bukan seperti yang dia khawatirkan.
"ohh.." Kini Hinata yang be-oo ria. "A..Ano.. Naruto-kun nggak mulai bersih-bersihnya?"
"Ahh.. ia.. Lupa.. hehehe.. Arigatou udah diingetin Hinata.."
"Douita Naruto-kun" Hinata balas tersenyum, manis sekali serasa madu (XD).
Narutopun memulai bersih-bersih alias piketnya, agak berat memang karena kelas ini memang tergolong luas dan pastinya akan lumayan lama menyelesaikannya (yee.. siapa suruh melamun terus dari tadi.. :p "jiahhhh.. yang bikin skenario masak protes skenarionya sendiri? Aneh bin ajaib.." Biarin.. sirik aja lu.. :p Sono mbalik ke crita *ngusir Naru*).
"Hinata.. kenapa masih di sini?" Naruto heran kenapa Hinata masih di sini. Harusnya tadi dia hanya mengambil barang yang tertinggal saja kan? Entahlah.. daripada penasaran tanya saja langsung.
"A..ano.. Naruto-kun perlu bantuan?" (Aduh Hinata-chan.. kenapa malah tanya lagi? Harusna dijawab dengan bener donk.. bukan tanya lagi.. "Go..Gomenasai author-san.." yaa.. laen kali jangan diulangi lagi ak.. ehh.. jangan ngis donk.. *binjun liad Hina-chan berkaca-kaca* *Hinatachan ngangguk*)
"Eh? Kamu gak keberatan?"
Hinata menggeleng.
"Baiklah.. itu sapunya.." Naruto menunjuk sapu-sapu Kiba dkk. yang tadi ia geletakkan begitu saja(Kasian banget yah sapunya.. ditelantarkan eg.. ckckckckck).
"i..ia.."
Hinata mengambil sapu itu dan mulai membantu naruto. Mereka berdua berpiket ria (?) dalam diam. Hinata dan Naruto sibuk dengan pikiran mereka masing-masing. Waktu terkadang memang terasa seperti kelinci berlari namun juga seperti kura-kura berjalan. Dan akhirnya ketika mereka selesai, jam di dinding yang tidak bisa merayap baru menunjukkan pukul 3 lebih setengah jam alias setengah 4.
"yosh.. selesai.." Seru Naruto. "Arigatou Hinata" Naru lagi-lagi tersenyum, senyum yang sekarang terlihat lebih memendam sakit, senyum yang sekarang lebih terlihat dipaksakan.
"Naruto-kun? Daijobu?" tiba-tiba kata itu terlontar begitu saja dari mulut Hinata. Hinata terkejut dengan dirinya sendiri, bukan hanya Hinata, Naruto juga.
"Aah.. Gomen.. tadi kelepasan." Hinata blushing dan gugup meluruskan kata-katanya yang sangat merambah privasi tadi.
Naruto hanya terkekeh mendengar kalimat Hinata yang terakhir itu. Hinata terlihat lucu dalam tingkah usahanya untuk meluruskan kata itu.
"Daijobu Hinata.." Naruto tersenyum lagi. "Memangnya kamu mikirin apa kok bisa kelepasan?" Naluri jail Naruto muncul (hoo…:O)
"A..Ano.." Hinata jadi tambah blushing.
"Nani?"
"A..Ano.." Hinata semakin gugup.
"Hmm?" Naruto masih saja menggoda Hinata.
Karena sudah dipojokkan begitu, Hinata akhirna menyerah. Menjawab yang sebenarnya.
"Tadi.. Kepikiran Na..Naruto-kun.." Sekarang wajah Hinata sangat merah seperti mendidih(hihihi).
"Ore? Kok bisa?" Naruto terkejut, kecemasannya tadi ternyata memang sekarang terbukti.
"So.. Soalnya tadi Na..Naruto-kun kelihatan sangat sedih.."
Naruto baru tersadar. Dia terduduk lagi.. Shittt! Sial.. tadi dia sempat lupa diri, sempat terlalu terhanyut dengan kesediahannya itu. Aghh.. padahal sudah bertekad tak kan terlihat. Shitt!
"Manusia nggak selalu sempurna kok Naruo-kun" Hinata berbicara pelan, namun pasti meski begitu terdengar bijaksana dan nyaman.
Aneh.. hanya dengan mendengar kata-kata itu dari hinata sepertina tekanan pada dirinya sedikit berkurang. Ah.. bukan sedikit namun hampir sebagian. Suaranya menenangkan, nyaman. Dan tidak terkesan mengsihani, tapi lebih pada sayang seperti saudara tepatnya keluarga. Inilah.. ini mungkin yang dicari Naruto selama ini…
Sebenarnya Hinata sekarang sedang bejuang menghilangkan gugupnya. Ya.. sekarang dia harus menghilangkan gugupnya agar bisa membantu Naruto-kun. Dulu Kaasannya selalu menemaninya, berbicara ketika dia sedih maupun mengalami hal berat seperti kematian kucing kesayangannya dulu. Dan kali ini dia berharap cara itu dapat mengurangi kesedihan Naruto-ku. Semoga saja..
"Hinata.." Naruto menggetarkan kata itu, agak terdengar tercekat.
"Iya?" Hinata kini berhasil menghilangkan gugupnya dan bahkan dia menoleh ke Naruto-kun dengan tersenyum, lembut.
"Kenapa kau bisa tau?" kini suara Naruto lebih seperti bisikan.
"Hmm.." Hinata berpikir sejenak hanya sekejab sambil kembali memandang tembok.
"Karena ada yang berbeda dengan Naruto-kun sejak masuk koukou." Jawaban yang singkat namun jelas. Itu sudah cukup bagi Naruto untuk mengerti bahwa Hinata memperhatikannya, sangat malah. Hingga dia bisa menadarinya. Bahakan mungkin hanya dia yang menyadari perubahan itu.
"Hehe.. Kau hebat ya Hinata.. Kau bisa menyadari perubahanku, sementara yang lain tidak." Kataku dengan kekeh yang lemah, lemah karena begitu pelik kesedihan ini.
Hinata hanya tersenyum. Masih menatap tembok.
"Kau boleh cerita kepadaku kok Naruto-kun." Lagi, senyum tulus kembali Hinata sungginggkan kepada Naruto yang terduduk di dekatnya. Menatap Naruto, yang kini sedang berkutat dengan kesedihan yang membuat hinata merasa miris. Miris melihat seseorang yang biasana ia kenal ceria, namun kini memendam masalah yang seperti begitu rumit. Kesedihan.. meskipun terlihat sangat mudah dan sepele hal ini sangatlah pelik dan kompleks.
"Tapi itu jika Naruto-kun mau.." Senyum tulus itu lagi. Naruto memandang Hinata sekilas dan sedetik kemudian berkutat dengan 'itu' lagi. Kini ia merasakan sakit itu lagi.. Sakit karena kehilang orang yang dipikirna sangat berharga lagi. Dan sakit karena orang itu ternyata tidak menganggapnya berharga.
"Hahhh.." Hinata yang melihat Naruto kembali berkutat pada hal pelik itu mendesah dan duduk di samping Naruto. Normalnya, dia akan pingsan bila sedekat ini, namun ini kondisi yang berbeda. Dia kini merasa khawatir juga seiring Naruto yang terlihat semakin sedih. Tampaknya dia bukan malah membantu Naruto, tapi malah memperkeruh Naruto sendiri.
"Hinata, apakah yang disebut keluarga hanyalah yang memiliki ikatan darah saja?" tiba-tiba Naruto berkata, pelan, bahkan untuk ukuran sebuah desahan hingga Hinata harus memasang telinganya sebaik mungkin.
"Hahh.." Pelan Hinata menghembuskan nafas perlahan sebelum menjawab, berhati-hati di dalamnya. "Keluarga ya.. secara harfiah yang disebut keluarga memang hanyalah orang-orang yang punya ikatan darah."
'Shitt!' rutuk Naruto dalam hati begitu mendengarnya. 'ternyata sama saja dengan si teme' rutuknya lagi.
"Tapi, berbeda jika yang Naruto-kun maksud ikatan keluarga."
Naruto menoleh pada Hinata, terkejut. 'Memangnya apa bedanya? Hanya di tambah kata 'ikatan' kan?' pertanayan itu terbaca jelas di wajah Naruto, Hinatapun menyadarinya dan segera menjawab. Menghindari tatapan dengan Naruto agar tidak gugup.
"Kalau ikatan keluarga itu adalah sesuatu ikatan yang kita miliki dalam hubungan kita dengan orang lain yang sudah seperti ikatan yang ada dalam keluarga, tak peduli kita puna ikatan darah ataupun tidak. Meskipun tak punya ikatan darah, namun tak masalah kan? Yang penting adalah ikatan yang sudah bak keluarga itu. bahkan menurutku, kelas kita ini sudah seperti keluarga. Kakashi-sensei, ino-chan, sakura-chan, tenten-san, kiba-san, sikamaru-san, semuanya. Tak terkecuali Naruto-kun. Kurasa kita semua sudah seperti keluarga, apalagi hampir 2 tahun kita semua bersama, tak ada yang berubah. Yang berubah hanya keakraban yang semakin erat. Tawa, canda, tangis, haru, bangga, kompak. Kita semua berbagi itu. Seperti keluarga. Keluarga yang sesungguhnya." Penjelasan panjang itu ditutup Hinata dengan senyum manis. Agak membingungkan memang. Namun, Naruto sedikit banyak dapat memahaminya.
"Yaa Hinata.. Kau benar.." Yah benar.. bagaimana dia tak menyadarinya selama ini, mereka begitu dekat, sangat dekat. Semua keakraban ini, ikatan ini, adalah ikatan itu. Ikatan sebuah keluarga. Keluarga yang sangat besar malah. 'Kelurga memang tak hanya sebatas dengan ikatan darah saja teme.' Naruto tersenyum pada Hinata senyum yang dulu.. senyum yang sebelum beban itu. Hinata balas tersenyum. 'Ternyata memang bicara adalah obatnya. Syukurlah Naruto-ku' seru Hinata dalam hati.
"Ahh… Capek banget.." Seru Naruto, berdiri meregangkan tubuhnya. "Doumo Hinata.." Cengiran khas itu kembali menghiasi wajah Naruto dan biasa, tangan berasa di belakang kepala (/).
Hinata balas tersenyum, manis dan lembut (kayak marshmallow XD).
"Douita Naruto-kun" Kini Hinata gantian yang berdiri.
"Ngomong-ngomong.. Kamu ternyata enak diajak ngobrol ya.. Tak kusangka." Puji Naruto yang masih dengan gaya cengiran khasnya itu.
"A..Arigatou Naruto-kun.." Hinata blushing lagi plus gugupnya muncul lagi. Untung waktu serius tadi dia nggak gugup sama sekali malah terbilang lancar.
Tak terasa jam di dinding yang diam-diam tak merayap itupun sudah menunjukkan pukul 5.15. Sudah hampir petang rupanya. 'Harus segera pulang' pikir kedua orang yang tersisa di kleas itu.
"A-Ano.." "Hinata.." Mereka mengucap kedua kata itu bersamaan, kompak.
"Haha.. kau duluan saja Hinata." Nyengir lagi dah tuh rambut nanas. *di gebug para fans Naru*
"Na..Naruto-kun dulu aja.." Ucap Hinata yang menunduk malu-malu.
"Ahh.. kau slalu gitu ya.. baiklah.." Naruto meraih sapu Hinata dan bersama sapunya sendiri ia kembalikan ke tempat yang seharusnya. Kemudian menyambar tasnya dan milik Hinata yang memang diletakkan Hinata tak jauh dari miliknya.
"Ayo pulang.." Kata Naruto dengan tangan kanan menyerahkan tas Hinata pada gadis berambut indigo itu dan tangan kiri memegang tasnya sendiri di belakang bahu.
"I-iya" Jawab Hinata.
~w~W~w~
'Keluarga sebuah ikatan yang sangat indah. Yang bahkan memang tak perlu batasan. Baik itu batasan akan 'darah'. Ya.. ikatan keluarga akan melampauinya. Membuatnya menjadi transparan yang bahkan tak diperlukan. Ikatan ini bebas, bebas dimiliki siapapun, bebas dirasakan siapapun. Termasuk yang tak punya seorang keluarga lagi sekalipun. Hanya sebuah ikatan yang murni, yang bahkan menjadi kekuatan untuk hidup, yang sekali lagi tak dapat dibatasi hanya oleh sekedar ikatan yang bernama 'darah'.'
Semburat jingga kembali memenuhi kamar itu untuk sekian kalinya, menembus bingkai jendela yang masih tertutup, memberitahukan kabar datangnya pagi dari sang matahari. Kamar itu memang sudah menampakkan tanda kehidupan di dalamnya sejak dini tadi. Namun sepertinya sekarang tanda itu sudah pudar. Hanya terlihat sebuah laptop yang manyala yang menunjukkan kehidupan buatannya. Di depannya tergeletak tidur Naruto, lelah setelah menyelesaikan tugas untuk hari ini semalam. (siapa suruh SKS.. :p)
Tik.. tok.. jam perlahan mencapai pukul 6. ketika tepat pukul 6…
"KRINGGGGGGGGGGGGG" bunyi berisik jam weker itu menggema, bising.
Naruto terpaksa bangun dari meja belajarnya yang keras itu. mengerjap mengumpulkan kesadarannya dan meraih weker, mematikannya dengan satu gerakan. (sadis.. XD) Melihat lantopnya sekilas, memastikan tugasnya beres, memtikannya juga dengan sekali sentuh.
Dia membuka jendela, membiarkan aroma pagi beserta bumbu merah jingganya. Menghirup pelan udara segar hari ini.
Matanya menembus udara dan perlahan teralih ke meja, pinggir samping. Pigura sederhana itu tertimpa cahaya jingga matahari. Menyilaukan sebagian isinya. Di dalamnya terdapat foto. Naru terlihat tersenyum di dalamnya bersama Sasuke, si TEME.
Kini Naruto tersenyum melihat pecahan memori itu. Tersenyum.. bukan lagi sakit hati karena si Teme itu. Hanya senyum yang dari hati. Tersenyum karena sekarang dia tidak merasa terkungkung akan kepahitan yang Sasuke berikan. Yang meruntuhkan ikatan keluarga yang Naruto rasa dapatkan, menghancurkannya, membelenggunya lagi pada penjara kesendirian.
Tapi sekarang itu tak berlaku lagi, tak kan pernah. Keluarga, kini ia mendapatkan itu, baru menyadari lebih tepatnya. Tak perlu ikatan yang dinamakan 'darah' itu untuknya, karena sekarang disekelilingnya di penuhi keluarganya. Ya.. mulai dari teman-teman sekelas yang memang tinggi semangat keakrabannya itu, Kiba yang lumanyan jail menyaingi dirinya, Shikamaru yang mister pemalas itu, Choji yang suka makan, si duo cerewet Sakura dan Ino, si tomboy Tenten, Lee, Shino, teman-teman yang lainnya, dan bahkan Kakashi-sensei si sensei jail yang juga lumayan tegas. Ahh… semuanya begitu dekat, mudah saja dianggap keluarga. Oh iya.. Hinata tentu termasuk di dalamnya.
Hinata, Naruto tersenyum simpul memikirkannya. Kemarin gadis itu telah membukakan matanya, melepaskan belenggunya. 'Hinata..'. ahh.. mungkin dia mulai tertarik padanya. Entahlah..
Jam telah menunjuk angka enam di kedua jarumnya. Naruto bergegas bersiap ke sekolah. 'Jangan sampai terlambat' batinnya. Tak sabar bertemu dengan keluarganya, itulah yang ia rasakan.
~owariMashou~
Hahay.. fanfic pertama saia kelar juga.. Mezki pake paket plusplus segala (buuuuuuuuanyaaakkk salah di sono sini + kurang buanyyakk bener perbaikan + sangaatt tiidak memuaskan + gaje bangat kali ya XD). Yah.. namanya juga karena saia gak bakat bikin karya sastra. Jadi beginilah.. XD

Semua Membuatku Bingung !!!!!!!!!!!!!!!!!!

Aku bingung dengan semua ini..
Lebih baik aku tak tahu saja.
Ya..
Tak tahu dan tak mengerti..
Percuma jika tahu tapi sangat sulit melakukan yang benar.

Benci..
Ya benci pada diriku yang tak bisa lepas darinya.
Padahal kini aku tahu itu salah.

Tapi...
Akh.. Benar selama ini hanya ada itu..
Tetapi jika sekarang aku tahu itu adalah hal menyimpang lalu..
Apakah aku harus membuang semuanya??
Aku tak bisa lepas darinya sungguh..
Keterikatan itu sekarang telah menjadi bagian dari hidupku.
Apakah kini tiba saat aku melepasnya??
Akh.. Berat.. Berat sekali...

Padahal aku tak ingin mengkhianati..
Ugh.. Tapi hey..
Aku belum siap!!
Semuanya membuatku bingung..
Aku memang telah tahu jelas apakah benar atau salah..
Tapi hey.. Aku bingung..
Arghh.. Lebih baik memang sejak awal aku tak tahu..

Kini bagaimana aku harus mengambil sikap??
Tak bisa bersikap tak tahu lagi karena aku sudah tahu..
Tak bisa pula bersikap tegas meskipun telah tahu..

ARGHHHHHH...
SEMUAnya membuatku pusing 7 keliling lapangan basket.. =.="

Andai Aku Rembulan

Andai aku rembulan
Aku tentu akan sangat senang
Kau pandangi tiap malam tanpa bosan
Andai aku rembulan
Aku akan sangat bersyukur.
Membuatmu tersenyum melepas penat dan 5 pertanyaan.
Kadang kau memaki, menyumpahi, bertanya, mengakui, bahkan pasrah akan kehendak langit
Tapi kau slalu jujur d hadapan rembulan
Tanpa pernah ada sebersit kemunafikan

Tapi aku bukan rembulan
Hanya berharap bisa sepertinya
Yang akhirnya menuntun kembali pada-Nya
Bahagia mungkin jika aku menjadi rembulan.
Ahh.. Tapi aku bukan rembulan.
Bukan untuk siapapun.
Hahh.. Mungkin aku memang cemburu.
Pada KIMI!!!

Paragraf Naratif

Paragraf Narasi
 
Paragraf narasi adalah paragraf yang menceritakan suatu peristiwa atau kejadian. Dalam karangan atau paragraf
narasi terdapat alur cerita, tokoh, setting, dan konflik. Paragraf naratif tidak memiliki kalimat utama.
 
Contoh paragraf narasi kimi kelas X :

MEMORI

Kini aku hanya tertegun di bawah naungan pohon. Duduk dan membuka halaman demi halaman buku yang sedang kutekuni. Sesekali aku memandang langit dari bayangan pohon yang menaungiku ketika mataku telah lelah membaca. Setiap kali aku memandang langit, selalu terbayang wajahnya. Wajah チエル yang arti namanya adalah langit, tak peduli apapun hanya imagi biru. Tak terasa air mata bening menerobos keluar dari mataku. Menandakan bahwa aku sangat merindukan dirinya yang kini ada di tempat yang jauh. Setelah aku berhasil menguasai diri dari kerinduan yang tiba-tiba mendera, kuhapus air mata itu dengan punggung tanganku. Ku tutup buku yang masih terbuka di tanganku dan melangkah pergi.

Pilihan Ke-3 sebagai pilihan teraman

"klw kw jadi dia cuman da 2 pilihan. Menjadi munafik atw jadi anak nakal. Pilih m.jadi yg mn?"

Pilih m.jadi jadi un.. XD *lhoh?
*pletakk
"maksut.a?"
Aq pilih gila.a m.jadi2 un.. XD
"hm?*sweat"
Kan yang disebutin ada 2 pilihan un.. + ga enag mua.a un..=.=a
Jd q pilih opsi ke.3 un.. XD
"hm. Menjadi2 brarti sama aja anak nakal kan?"
Ga kok un.. Sapa blg un?o.oa
M.jadi2 disini mkst.a bersikap hepi terus un.XD
Kan hepi bisa bikin aura positif yg menular un.. ^w^
Jd q pilih itu un..X3
Gegege

"hm.Tp hanya ada 2 opsi. Pilihanmu tak dihitung. :|"
Wahay.. Emang cuman ada 2 sih yg keketik un..=.=a
Tp kan dibalik 2 pilihan ada pilihan ke3 un.. XP
Kyk pilih menyerang atau menyerah un.. Kan kata bumi(avatar) ada jg pilihan diam un..^w^
*ketauanklwngefansavatar
*pletakk
Yah.. Meskipun kdg ada jg pilihan yg ga ada opsi k 3.a un..=.\

"maksutmu?O.o"
 ~changeauthorp.o.v~
sederhana. Di dunia ini kita selalu dihadapkan pada pilihan. Kebanyakan berupa double choice, 2 pilihan atau antonim bahasa sastranya. *authorsoktau
*digetokreaders
Baikxburuk, untungxrugi, senangxsusah dll.
Contohnya kayak di dialog tadi. Juga hal yang mungkin sering kita temui.
"Bilang jujur ato gak ya?"
"mau ketemuan apa mangkir ya?"
That's it.
Dan dibalik semua itu ada pilihan ke3 yang bisa menjadi jalan untuk mencapai akhir yang baik atau buruk. Dengan kata lain pilihan ke3 adalah tangga untuk mengatasi 2pilihan yang gak selamanya berupa baik-buruk, tapi juga sering buruk-buruk.
Contohnya
-kamu dihadapkan pada pilihan jujur atau bohong. Dimana jujur berarti kau tega menghempaskan seseorang ke jurang penyesalan. dan bohong berarti kau menuntun seseorang ke jurang ilusi palsu.
Nah apa yang dipilih? ^^
Dan pastinya ada pilihan ke-3nya.^^
Jenis pilihan ke3 bisa berbeda untuki tiap orang sesuai dengan kepribadiannya.
Dalam kasus itu bisa jadi 2 pilihan ke-3. *soal.acumanituyangkepikir​author *plakk

Pertama:
Diam. Bersikap tak tahu dan menghindari topik itu.
Tapi artinya kau berarti hanya iklan/sekedar orang lewat yang membiarkan seseorang jatuh bangun begitu saja.

Kedua:
Senyum. Opsi ini bisa bermakna ganda. Memang sepertinya terlihat baik. Tapi sebuah senyum saja hanya akan menjadikan akhir yang sama seperti opsi di atas: iklan.

Lain halnya jika disertai pengertian. Memberi dukungan menuju happy end dengan ambigu/samar. Karena jika kita menekankan pada jalan yang menurut kita akan hepi end. Itu samahalnya dengan langsung memilih jujur/bohong.

Bisa dimengerti?
-gak bisa!
*authorditimpuk
Wah. Sebener.a q jg bingung ndiri sih un.. XDD
Bahasa tinggi.a kumat un..^^'
 Gampangnya gini:
Kamu punya kenalan, pacar.a nikung. Kamu tau. Suatu saat dia tiba2 tanya ke kamu apa bener si pacar.a tu nikung. Pdhl kamu jg tau gimana si kenalanmu ini kliatan sayang bgt ama pcr.a.

Nah, milih jujur ato boong?

Jujur:
Tentu.a tau dong gimana rasa.a tau org yang amat dicinta nikung?
Biasa2 aja, gak peduli? Itu buat yang ga bener2 cinta.
Tp buat yg cinta beneran pasti ancur kan.
[u'll break her heart severely guys]

Boong:
Tau gimana rasa.a ditikam dr belakang? *gablhjwbgatau
*maksa
*pletakk
Nah pasti itu yg bakal dirasain ma kenalanmu itu!
[u'll be a betrayer guys]

Pilihan ke-3:
-Diam
Tau rasa.a dikacangin pdhl itu nyangkut hal penting?
This is it..
Pasti kenalanmu bakal mikir 'ni orang ga bisa diajakngomong banget seh!'
See.. Kamu malah dpt imej buruk.
[u'll be a bad advertisement at her/his life guys]

-Senyum
Tau rasa.a ngobrol sama pet yang bisa.a cuman senyam-senyum doang?
Lama2 jengkelin bgt kan.
Ini yg bakal jd efek.a. Bayangin ja ditanyain serius malah cuman senyum2 doang. Ga ngasi info yang kita perluin. "stress kali yak nih orang"
Malah di cap org stess. XD
[u'll become such a crazy adv. guys]

Tapi lain klw kamu senyum + kasi dia pengertian. Ga langsung nyuruh putus. Tp perlahan deketin dia. Diam2 + pelan2 nuntun dia bwt gak ada rasa lg, syukur2 putus dr pcr.a.
Klw kayak gt otomatis sebroken heart.a dia pasti ga bakal sakit bgt. Dan lg dia malah bisa dkt ma km. ^w^
Kekeke
[u'll had a new nice relationship guys]
Tapi pilihan ini ada resiko.a. U'll find it if u expirience such that problem.
    
 

Sabtu, 09 Juli 2011

Puisi Berdasarkan Kata Kunci

Gomen un.. aku lupa judul sebenernya un. Tapi yang jelas puisi ini tugas Bahasa Indonesia yang di bikin berdasarkan kata un.


Jadi gini, urutannya kita disuruh menentukan kata yang terbayang di kepala kita(1 aja). Terus kata-kata itu dikumpulin/ditulis di depan kelas. Nah, kita disuruh bikin puisi pake kata" itu, waktu ituminimal pake 12 kata kalau gak salah.
Ini hasil puisi kimi un.. ^^

SEPENUHNYA 

Suaramu pudarkan (sunyi) dalam malamku
Memberikan (oase) dalam gurun hatiku
Kau sering buatku (melayang) tinggi
(Melayang) dalam ayal akanmu

Tapi kini kau buatku (bingung)
(Bingung) akan perasaan yang kini berkecamuk di dada
Kau buatku membencimu dengan tingkah lakumu
Tapi pada saat yang sama kau buatku semakin (cinta) padamu

Kini kau telah menjeratku dalam jeratmu
Kau menawan hatiku yang kini tak lagi seringan angin
Dan kau buatku kini tak bisa membencimu sepenuhnya
Karena kini hatiku slalu (merindu)mu


P.s: kata kuncinya yang ada di dalam kurung un. 

Sebatas jiwa pujangga yang terbangun

Putri..
Seakan memang aku bukanlah bagian dari ceritamu..
bukan sebagai sang pendampingmu..
bukan jua sebagai orang dekatmu..
bukan sebagai orang dusun..
tokoh antagonismu juga bukan, tapi untuk yang satu ini aku bersyukur..
bahkan aku juga bukan bintang jatuhmu!!!!!!!!!

aku hanya langit...
yang terpajang sebagai latar..
tak berperan apapun..
hanya melihat..
tak sanggup bertindak barang menyentuh..

aku hanyalah sebersit jiwa pujangga yang terlepas..
mengagumi kisahmu tanpa bisa merasuk ke dalamnya..
memandangi tiap untaian takdirmu...
tanpa bisa ikut berpaut dalam suratan takdirmu..

aku hanya latar..
aku hanya pengamat..
dan aku hanya orang yang ingin menjadi kekuatanmu..
tak perlu menjadi tokoh sentral untuk mendampingimu..
karena aku memang tak bisa..
Tak perlu menjadi bagian dari ceritamu..
karena aku memang hanya angin lalu..
tapi angin lalau ini juga ingin mendukungmu putri..
menopangmu menuju kebahagiaanmu..

biarlah aku menjadi angin lalu yang cepat berlalu..
karena aku sudah terbiasa berlalu memendam gejolak rasa..
HHahhh..
seandainya aku bintang jatuh yang menghantarkan pangeran kepadamu..
seandainya aku orang dekatmu yang selalu mendukungmu, menguatkanmu tanpa harus sembunyi-sembunyi seperti ini.. seandainya aku orang yang bisa mencurahkan sayangku padamu tanpa ada hal berat di depan mata ini..
Tapi pengandaian adalah penyangkalan..
Penyangkalan takdirku sendiri..

ahh..
Seharusnya aku merutuki diriku ini..
Jiwa pujangga yang terlalu berlarut dalam rasa..
Menekankan tiap torehan-torean luka..
Aku benci jiwa yang terbebas ini..
Terkadang memang jiwa pujangga yang terlarut-larut dalam emosi ini tak berguna..
Tak sanggup menggapai hatimu..
lebih baik menjadi gunung es di antartika..
tapi gunung espun akan meleleh oleh global warming.
Atau lebih baik aku menjadi robot..
Tapi robot juga menyerupai manusia seiring berkembangnya zaman..

seseorang yang menyanyangimu

bulir berjatuhan..
hanya nampak seperti air..
kristal yang elastis..
pipimu basah olehnya..
dingin..
bercampur sesal dan sedih..
hei.. mengapa kau hanya terpuruk dalam linangan kristal airmu??
kenapa hanya bergelut dengan rasa sedihmu??
Lihatlah..
tengadahkan wajahmu..
jangan menunduk saja..
kau tak sendirian..
kau tak terperangkap dalam kelam..
kau hanya terkena bayang awan yang berjalan..
Hei.. lihatlah..
di sini banyak orang yang menyayangimu..
dengan tulus melebihi lembutnya sutra bahkan..
lihatlah.. ada ibumu yang kasih sayangnya tak pernah putus..
ada ayahmu yang keringatnya tak henti menetes untukmu..
dan ada saudaramu yang kadang tak hentinya meraimaikan hidupmu dengan pertengkaran kecil..
dan yang terakhir ada sahabat-sahabatmu yang selalu siap mendenger tiap curahan emosimu..
oh iya.. jangan lupa teman-temanmu.. orang-orang yang melengkapi hidupmu dengan tingkah-tingkahnya..

Lihat???
Kau tak harus terpuruk dalam kelam..
Karena masih banyak seseorang yang menyayangimu..
ah.. bukan.. tepatnya.. banyak orang yang menyayangimu..

Sebuah Ungkapan Akan Diriku Yang Hanya Pengamat

Hei kau yang tenggelam dalam gelap
Hei kau yang merana dalam sesak
Hei kau yang hatinya terluka
Mengapa kau sedemikian terpuruk
Kenapa kau sedemikian menyedihkan?
Bersembunyi dan menangis tanpa suara dalam gelap
Hanya menyisakan sebuah suara isakan sepelan hembusan nafas.
Hei..
Kenapa kau seperti itu?
Meringkuk dalam naungan pembaringan
Meremas dadamu seolah kau ingin merobeknya
Bertahan mungkin dari sakitnya rasa hatimu yang telah terkoyak, terobek-robek bagai daun kering yang terinjak

Hei..
Kenapa kau begitu merana?
Begitu tersiksa seakan jantungmu terobek
Begitu sulit bernafas seakan paru-parumu hilang
Dan begitu lemah bersuara seakan pita suaramu rusak dan hanya bisa merintih

Hei
Apakah begitu sakitnya hatimu?
Sehingga kau hanya bisa terisak dalam diam di kegelapan
Begitu ngilu kah rasa sakitmu?
Sampai hanya suara lirih tertahan dan terputus-putus yang keluar dari mulutmu?

Hei
Kau..
Mengapa sebutan 'kakak' yang keluar dr mulutmu saat itu?
Kenapa kata itu kau ucapkan berulang-ulang?
Meskipun nafasmu terengah-engah
Meskipun kau masih merintih kesakitan
Dan meskipun kau tak lagi punya 'kakak'mu itu!
Apakah begitu berharganya dia!
Begitu berartinya dia untukmu?

Kau tahu!
Aku sesak melihatnya!!
Aku benci diriku yang tak bisa berbuat apapun!
Aku benci!
Meskipun aku bukan 'kakak' yang kau sebut itu
Meskipun aku bahkan tak selalu bersamamu
Hei! Tapi aku peduli padamu!
Aku memperhatikanmu! Aku menyayangimu! Aku juga mencoba memahamimu!
Urgh..
Aku benci hanya sebagai pengamat.
Aku benci tak bisa berperan..
Dan aku benci hanya bisa menopangmu dari belakang..
Ayolah..